TEMPO.CO, Surabaya - Dewan Penasihat Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU), Sholahudin Wahid, mempersilakan warga NU untuk berpolitik, asalkan tidak melibatkan NU sebagai organisasi. NU diharapkan bisa menjadi garda terdepan masyarakat untuk mengkritik pemerintah.
"Warga NU berpolitik ya monggo, tapi jangan nggeret-nggeret (melibatkan) NU organisasi," kata Gus Sholah dalam Halakah Kebangsaan Arah Politik Warga NU pada Pemilu 2014 di JX Internasional, Surabaya, Selasa, 29 Januari 2013.
Adik kandung Gus Dur itu berkaca pada NU di era 90-an. Saat itu, NU menjadi kekuatan politik yang solid justru ketika organisasi itu tidak terlibat dalam politik praktis. Ia meminta agar NU berpihak kepada rakyat dan aktif mengkritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pro-rakyat.
"Jadi, kalau ingin pamor (NU) tinggi, jangan ikut politik praktis, jangan dukung gubernur, jangan dukung presiden." Namun, menurut dia, sah saja jika warga NU menginginkan gubernur dari kalangan NU. Hanya, ia meminta agar NU tidak dibawa ke dalam masalah partai.
Bagaimana memilih partai? “Yang penting bukan partainya, tapi siapa calon yang dipilih.” Calon pemimpin yang dipilih harus mempunyai rekam jejak dan kemampuan yang baik serta siap mengemban amanah.
Meski demikian, Gus Sholah mengaku belum menemukan cara untuk mengatasi warga NU yang tersebar di berbagai partai. Makna berpolitik, bagi NU, bukanlah sekadar berada di dalam partai, tapi juga memperjuangkan cita-cita pendiri NU.
Pengamat Politik Universitas Airlangga, Priyatmoko, mengatakan NU memiliki stok tokoh yang berlimpah. Berkaca pada beberapa pemilihan kepala daerah, politik aliran tidak ditentukan organisasi, tetapi tokoh perseorangan. "Sekarang agak sulit menentukan partainya, tapi justru ketokohan."
Sebagai organisasi massa berbasis Islam terbesar, Priyatmoko menilai, NU harus berperan sebagai jangkar yang mengikat warganya secara kultural, meski beraliansi dengan macam-macam partai politik.
AGITA SUKMA LISTYANTI