TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-bangsa masih memverifikasi laporan kanibalisme akibat kelaparan di Korea Utara. Kabar tersebut telah diketahui sejak bulan Desember tahun lalu.
Media massa internasional memberitakan seorang pria Korea Utara dieksekusi karena memakan anaknya. Kabar tersebut memicu kekhawatiran ‘kelaparan tersembunyi’ di tempat kejadian, yakni provinsi Hwanghae dapat meningkatkan insiden kanibalisme. Pejabat Korut menyatakan kasus itu hanyalah kebetulan dan pelakunya telah dieksekusi.
“Ada laporan sejak beberapa bulan lalu, tapi belum bisa diverifikasi,” kata Marzuki Darusman, pelapor khusus PBB soal Hak Asasi Manusia (HAM) Korea Utara kepada Tempo, Selasa, 29 Januari 2013. Meski demikian, PBB tidak dapat menafikan laporan-laporan tersebut. Mereka tetap mencatat dan melakukan penyelidikan. “Belum ada sumber lain yang bisa memberi penguatan atas laporan tersebut,” kata Marzuki.
Menurut Marzuki, rakyat Korea Utara umumnya tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan sendiri. Selain tanahnya tidak baik untuk pertanian, sistem pemerintahan menyebabkan sumber pertanian dialihkan untuk keperluan pertahanan. “Mereka punya doktrin, prioritas pertama militer, prioritas kedua militer, ketiga militer,” katanya.
Selain itu ada penggolongan penduduk dalam tiga golongan besar. Pertama, mereka yang tinggal di Pyongyang dan dianggap perisai. Yakni keturunan orang-orang yang dianggap pejuang pendiri negara, dan berasal dari generasi Kim Il Sung. Semua keturunan ini diberi hak-hak istimewa untuk tinggal di Ibukota dan sekitarnya.
Lapisan kedua, pekerja dan petani yang tidak boleh keluar dari provinsi atau pun kecamatan. yang paling parah, adalah golongan yang dianggap tidak bisa dipercaya. Penggolongan tersebut, menurut Marzuki, adalah kebijakan yang tidak tertulis namun tetap dipertahankan atau dipraktekkan hingga kini.
Penghasilan negara diperoleh dari pemalsuan produk seperti rokok-rokok Amerika, dan dijual ke negara-negara Eropa Timur dan bekas Uni Soviet. Selain itu juga uang palsu dan senjata ringan seperti pistol, yang dipasarkan ke Timur Tengah. Mereka juga memproduksi semen yang dijual ke Timur Tengah.
Yang terbaru, mereka juga menggambar kartun-kartun animasi Jepang. “Mereka menjadi subkontrak dari perusahaan swasta di Jepang, menggambar manga,” kata Marzuki. Dia mengaku mendapatkan informasi dari Lembaga Swadaya Masyarakat Jepang dan Korea Selatan karena tidak pernah mendapat izin masuk ke Korut. “Mandat pelapor khusus untuk HAM tidak diakui mereka, dan mereka anggap sebagai tindakan diskriminasi,” katanya.
NATALIA SANTI