TEMPO.CO, Yogyakarta - Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, menilai permintaan kepala desa dan dukuh di Daerah Istimewa Yogyakarta memperoleh jatah langsung dana keistiewaan tidak wajar.
“Keistimewaan DIY yang dijamin Undang-undang 13/2012 keistimewaan dengan kewenangan di provinsi. Maka segala aturan pengelolaan dana keistimewaan itu, ya provinsi, bukan kabupaten/kota apalagi desa,” kata Djohermansyah dalam dengar pendapat Dana Keistimewaan di DPRD DIY, Jumat 2 Februari 2013.
Sebelumnya, Paguyuban Dukuh Semar Sembogo dan Paguyuban Lurah Ismaya DIY meminta 40 persen dana keistimewaan untuk kesejahteraan perangkat desa dan pemberdayaan masyarakat. Tapi, menurut Djohermansyah, permintaan itu tidak sesuai peraturan. Sebab, perspektif keistimewaan yang dijamin undang-undang adalah provinsi. “Kabupaten sampai dukuh posisinya dalam alokasi dana ini hanya penerima kelimpahan atas pengelolaan dari provinsi," kata dia.
Djohermansyah menambahkan, karena kewenangan provinsi segala penjabaran dan alokasi dana itu sepenuhnya milik provinsi. “Termasuk menentukan skala prioritas kebutuhan alokasi dana keistimewaan. Kalau proposalnya dari desa tidak sesuai ketentuan lima keistimewaan, ya tidak diberikan. Itu menyalahi aturan,” katanya.
Aktivis Semar Sembogo Sutiyono menilai Djohermansyah salah mempersepsikan soal alokasi dana keistimewaan yang diharapkan dukuh dan desa. “Kami setuju kok pengelolaan tetap di provinsi. Tapi kami hanya minta alokasi itu tercantum dalam perda keistimewaan agar terukur dan nyata dampaknya,” kata Sutiyono, yang juga Ketua Paguyuban Dukuh Gunungkidul Janaloka.
Menurut dia, masuknya pasal dana bagi desa dan dukuh dalam Perda, menjadi satu-satunya jaminan Keistimewan dapat dirasakan manfaatnya seluruh lapisan masyarakat. “Masyarakat DIY kan tidak hanya yang hidup di provinsi,” kata dia. Tapi hingga kini dana keistimewaan yang disetujui sekitar Rp 523 miliar itu masih tak jelas juntrungnya.
PRIBADI WICAKSONO