TEMPO.CO, Jakarta - Menulis merupakan cara Mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menyembuhkan dirinya dari depresi kehilangan mendiang istrinya, Hasri Ainun Habibie Besari. Ainun meninggal di Munchen, Jerman pada 22 Mei 2010.
Habibie tak menyangka suatu ketika buku yang mengisahkan perjalanan hidupnya bersama Ainun selama 48 tahun 10 hari (12 Mei 1962-22 Mei 2010), Habibie & Ainun, ini bakal diangkat ke layar lebar.
Dalam wawancaranya kepada Tempo, Rabu, 16 Januari 2013, Habibie blak-blakan menceritakan alasannya menulis buku yang mengisahkan perjalanan hidup dan romansanya bersama Hasri Ainun Habibie Besari, mendiang sang istri. Bahkan ketika menyebut nama Ainun, suara Habibie masih bergetar dan matanya masih terus berkaca-kaca.
Menulis buku itu pun proses perjuangan buat mantan Presiden RI ketiga dan Menteri Negara Riset dan Tekologi ini. Dia bisa menulis tak kenal waktu hingga tanpa sadar hari sudah berganti tanggal. Kadang, Habibie menulis hingga tiba waktunya shalat subuh. Tapi tak jarang pula, ia cuma menulis selama dua sampai tiga jam. "Itu selama dua bulan," kata Habibie kepada Tempo di kediamannya di Patra Kuningan, Jakarta Selatan.
Menulis memang tak selalu lancar bagi Habibie. Ada masa ia mengalami kebuntuan. "Saya masuk ke masa nggak bisa menulis, saya menangis terus, saya lalu berdoa," ujarnya. Masa-masa sulit ini ia lalui selama satu setengah bulan.
Dalam doanya, Habibie kerap mendaraskan kalimat seperti ini kepada Sang Khalik. "Terima kasih telah melahirkan Ainun untuk Habibie dan Habibie untuk Ainun."
Untungnya, masa kebuntuan ini tidak berkepanjangan. Setelah itu, semangat Habibie muncul kembali. Dalam waktu setengah bulan berikutnya, ia menyelesaikan buku Habibie & Ainun. Habibie bahkan sempat menambahkan puisi sebagai penutup buku laris itu.
NIEKE INDRIETTA
Berita Terkini:
Alasan Habibie Menulis Buku Habibie & Ainun
Ini Alasan Anis Matta Terpilih Jadi Presiden PKS
PKS Harus 'Balas Dendam' Usai Penangkapan Luthfi
KPK Panggil Saksi Kasus Impor Daging Pekan Depan