TEMPO.CO, Jakarta - Meski telah diputus tidak bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) dan terbukti menjadi korban salah tangkap, Syahri Ramadhan alias Koko belum bisa mendapat pemulihan yang menjadi haknya. Pada 30 Januari lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Cibinong menolak gugatan pemulihan.
"Padahal, Mahkamah Agung sudah memutus Koko tak bersalah. Ini sama saja dengan Pengadilan Cibinong melecehkan Putusan MA,"ujar pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta sekaligus kuasa hukum Koko, Maruli, kepada Tempo, Selasa, 5 Februari 2013.
Koko dituduh oleh Kepolisian Sektor Bojong Gede melakukan pencurian sejumlah barang elektronik pada Juni 2009. Dia pun ditahan hingga akhirnya diputus bebas oleh PN Cibinong pada Agustus 2009.
Meski sudah diputus bebas, kepolisian terus mendorong kasus ini hingga ke tahap kasasi. Di Mahkamah Agung, hasilnya tak berbeda. Koko dinyatakan tak bersalah.
Maruli mengatakan, majelis hakim menolak gugatan pemulihan Koko karena merasa bukti-bukti kepolisian cukup. Seharusnya, kata Maruli, putusan itu tak berlaku karena ketika MA memutus Koko tak bersalah. Semua bukti yang ada pun telah dianulir. Langkah pengadilan juga aneh karena pada 2009 PN Cibinong sendiri membebaskan Koko.
Karena itu, dia mengajukan pengawasan atas putusan PN Cibinong ke Komisi Yudisial. Harapannya, agar segera terungkap kenapa Majelis Hakim PN Cibinong mengesampingkan fakta persidangan bahwa Koko jelas tak bersalah.
"Kami sangat menyesalkan putusan majelis hakim PN Cibinong. Kami meminta Komisi Yudisial segera memeriksa perkara a quo serta majelis hakim karena diduga telah melanggar kode etik hakim,"ujar Maruli.
Maruli menduga, di balik penolakan pemulihan Koko, ada kerja sama antara pengadilan dengan kepolisian. Tujuannya, kata Maruli, tak lain untuk kabur dari tanggung jawab serta menutupi kesalahan kepolisian.
Dia juga menuturkan, apabila penolakan pemulihan ini dibiarkan, ke depannya bisa menjadi preseden buruk. Korban kriminalisasi tak akan lagi percaya pada institusi hukum karena hak mereka tak dihargai. "Mereka hanya akan pesimistis."
Orang tua wali dari Koko, Sinta Sugiarto pun mengaku sedih anak asuhnya itu tak mendapat pemulihan yang menjadi haknya. Dia merasa kasihan dengan Koko karena sejak terjerat kasus hukum, Koko terisolir dari kehidupan sosial.
"Saya harap Komisi Yudisial menindak tegas masalah ini agar ke depannya tak terjadi kejadian serupa," ujar Sinta sambil terisak. Sinta juga mengatakan emosi Koko terganggu sejak menjalani masa tahanan.
Dedi selaku staff pengaduan Komisi Yudisial mengatakan pihaknya akan segera memproses aduan Sinta dan LBH. Namun, ia meminta keduanya untuk segera melengkapi berkas yang belum lengkap. "Kami butuh surat kuasa dari Koko untuk LBH."
ISTMAN MP