TEMPO.CO, Jakarta -Alkisah, sekitar 21 abad silam, penguasa dinasti Han, Kaisar Wu Di, memerintahkan Zhang Qian pergi dari Chang’an—ibu kota Tiongkok saat itu—menuju wilayah barat, ke Siberia bagian selatan. Komandan penjaga pintu gerbang istana itu diutus mencari sekutu untuk melawan suku nomaden, Xiong Nu, di bagian utara.
Zhang pulang 13 tahun kemudian. Misinya utamanya gagal, tapi perjalanannya bukan tak berarti. Kisah Zhang tentang adanya kain dan tongkat bambu kerajaan kuno Qiong—kini Sichuan—yang diekspor menuju Asia Tengah melalui India, membuka mata Kaisar Wu untuk membuka hubungan politik dan ekonomi negerinya. Zhang melengkapi laporannya dengan keberadaan kerajaan Fergana, Samarkand, dan Bukhara—semuanya kini di Uzbekistan. Begitu juga soal kehidupan di Anxi (Persia), Tiaozhi (Arab), dan Da Ch'in (Kekaisaran Roma).
Kaisar pun kepincut dan kembali mengutus Zhang pergi ke wilayah barat. Kali ini, salah satu misinya adalah menghubungkan Chang’an dengan jalur perdagangan yang lama sebelumnya telah dijalin oleh kerajaan-kerajaan Asia Tengah dan Barat, hingga ke Eropa. Sejak saat itu, Tiongkok bagian tengah, bahkan hingga ke Jepang dan Korea seiring meluasnya kekuasaan dinasti Han, mulai terhubung dengan lalu lintas perdagangan yang kemudian dikenal sebagai Jalur Sutra.
Jumat dua pekan lalu, di Ballroom Hotel Mulia, Jakarta, desainer Sebastian Gunawan seolah menapaktilasi perjalanan Zhang ketika meluncurkan koleksi busana tahun baru Cina 2013 rancangannya yang bertajuk La Route De La Soie: Jalur Sutra. Malam itu, gerbang kuil konfusian menjadi latar belakang panggungnya. Shíshzi—sepasang patung singa—duduk dengan gagah menjaga gerbang merah bertutul emas.
Sebagian koleksi Seba—panggilan Sebastian—tampak betul tak ingin meninggalkan gaya busana wanita Shanghai era 1920-an: qipao yang pas di badan, berkerah tinggi, dan bagian rok bercelah. Sebagian dibuat lebih sensual dengan kerah-kerah jenis ilusi dan lubang kunci serta bagian punggung yang terbuka. Ada juga qipao yang dibungkus bolero berenda yang menjadikan penggunanya tampak lugu namun genit.
Namun suasana Jepang seketika muncul pada selempang kain sutra yang dikenakan di qipao strapless, seperti geisha yang memamerkan leher dan bahu mereka yang berkilau. Aroma yang sama muncul pada peplum--tambahan mirip rok di bagian pinggang—hitam di qipao warna perak, seolah menjadi ikat pinggang lebar busana kimono (obi).
Seba bahkan berani menawarkan gabungan qipao biru dan rok panjang yang bulat mengembang ala baju tradisional Korea (chima). Sekilas, akan aneh jika mengenakan gaun tersebut untuk perayaan Imlek. Tapi detail dan kerapian khas Seba cukup untuk menjadikannya tetap elegan di suatu pesta.
Cukup? Tidak! Seba terus mengajak kita ke barat. Di tengah motif lama, seperti bunga peony (simbol kekayaan), bunga teratai (pengorbanan), dan burung hong (keabadian), Seba memunculkan warna-warni tenun ikat untuk menceriakan cheongsam panjang. Tenunan Uzbekistan itu juga muncul sebagai atasan qipao pendek atau sekadar menjadi bolero. Dengan begitu, Seba sukses menjadikan busana rancangannya sebagai kanvas untuk melukiskan kota-kota kuno di sepanjang Jalur Sutra, yang tak hanya hirup-pikuk oleh jual-beli barang antarbangsa, tapi juga diramaikan pertukaran kebudayaan.
AGOENG WIJAYA