TEMPO.CO, Purwakarta - Ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), KH Said Agil Siradj, menginstruksikan warga Nahdliyin di seluruh Indonesia untuk terus memupuk dan melanggengkan tradisi Ahlussunah Waljamaah dalam konteks dunia modern. "Seperti tradisi tahlilan dan marhaban harus tetap dipertahankan," kata Said Agil di hadapan ribuan jemaah dalam Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, di Pondok Pesantren Al-Hikamussalaffiyah, Purwakarta, Kamis, 7 Februari 2013.
Menurut Said Agil, tradisi-tradisi ibadah yang dilakukan warga NU itu merupakan warisan para ulama Ahlussunnah Waljamaah, sebagaimana dicontohkan Wali Songo dan para ulama mazhab Syafi'i. Kalau saat ini banyak organisasi Islam transinternasional yang menyatakan tahlil dan marhaban sebagai bid'ah, menurut Agil, sesungguhnya mereka tidak mengetahui sejarah Islam dengan benar.
Tahlil dan marhaban itu, kata Said Agil, sesuai dengan syariat yang dipedomani Ahlussunnah Waljamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an, sunnah, ijma ulama, dan qiyas.
Tahlil adalah tradisi yang dilakukan warga Nahdliyin saat doa arwah bagi orang yang meninggal dunia. Tahlil berisi zikir-zikir dan doa yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan dirangkai oleh para ulama. Disebut tahlil karena dalam zikir tersebut kalimat syahadat 'Laa ilaha illallah'. Sementara marhaban adalah pembacaan riwayat Nabi dalam peringatan maulid maupun acara kenduri.
Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, mengapreasiasi instruksi tersebut. "Saya meminta supaya warga NU terus menyuburkan tradisi tahlilan dan marhaban itu," ujar Dedi.
Menurut Dedi, dalam tradisi tahlil dan marhaban tersebut kesalehan sosial yang tiada tara nilainya. "Misalnya, memberikan sedekah kepada para fakir miskin yang hadir dalam acara itu sehingga mereka bisa makan cukup dan enak," tutur Dedi.
NANANG SUTISNA
Berita terpopuler:
Daging Impor, Luthfi-Suswono Bertemu Bos Indoguna
Diyakini Masih Hidup, Kuburan Dibongkar
Capres 2014, Jokowi Diibaratkan Sebagai Anak Macan
KPK: Ahmad Fathanah Operator Penerima Suap
Banjir, Jakarta Macet Total