TEMPO.CO, Solo -- Sejumlah lampion warna merah menghias sekitar Museum Batik Danarhadi, Solo. Batik Cina menjadi salah satu daya tarik utama di museum milik pengusaha batik Santosa Doellah itu. Bahkan menempatkannya dalam satu ruangan khusus.
Batik itu dikembangkan oleh para pengusaha batik Tionghoa yang tinggal di Indonesia sejak sebelum 1910. Mereka rata-rata tinggal di daerah pesisir utara Jawa, mulai daerah Cirebon hingga di Jawa Timur. Kebanyakan menggunakan warna cerah, terutama warna merah. Sedangkan motifnya seputar aneka hewan yang ada dalam mitos Negeri Tiongkok, seperti naga, ular, singa hingga burung phoenix.
Asisten Manager Museum, Asti Suryo menjelaskan batik Cina berkembang dalam tiga zaman. Pada masa sebelum 1910, batik China masih cukup asli dan menggunakan bahan pewarna alam. Medium 1910-1945, batik China mulai mendapat mengaruh corak-corak khas Eropa.
Setelah masa kemerdekaan, batik Cina tidak lagi menggunakan pewarna alam dan beralih ke pewarna kimia. Selain prosesnya yang lebih mudah, para perajin sudah mulai kesulitan untuk mendapatkan bahan-bahan pewarna alam.
Perusahaan batik Danarhadi hingga saat ini juga masih memproduksi batik Cina. "Permintaan pasar pasti selalu ada," katanya. Permintaan akan meningkat tajam setiap menjelang Tahun Baru Imlek.
AHMAD RAFIQ
Berita Lainnya:
Candi Borobudur Kembali Dikerudungi Terpaulin
Melongok Toko Pernik Imlek Tertua di Teluk Betung
Bandara Changi Kian Adem dengan 100 Ribu Pohon
Semarang Gelar Great Sale