TEMPO.CO, Yogyakarta - Suasana pada Minggu pagi 10 Februari 2013 di sepanjang Jalan Sudirman hingga Jembatan Kewek, Yogyakarta riuh. Sekitar 250 orang dari beragam komunitas peduli ruang publik memadati jalanan. Ada pesepeda, difabel, pejalan kaki, dan pecinta trotoar, street art. Mereka jalan beriringan dan membentangkan spanduk bertuliskan: “Merti Kutho Masyarakat Berdaya Benahi Ruang Putih”.
Di sepanjang jalan, mereka mencopot bendera partai politik, iklan di pohon dan di tiang lampu penerangan jalan. Orang muda itu juga berhenti di tiap trotoar untuk memberi tanda kursi roda dan menebalkan tulisan di ruang tunggu sepeda di perapatan jalan. Ketika ada mobil berhenti di tepi Jalan Mangkubumi, mereka meletakkan tulisan: “Bukan Lahan Parkir”.
Di Jembatan Kewek belasan orang secara bergantian mengecat tembok jembatan itu dengan cat putih iklan telpon selular. Tembok jembatan sisi Barat Kali Code itu juga ditempeli kertas bekas ukuran A3 bertuliskan: “Iklan Mural Komersial di Tembok Melanggar Pasal 5 Perda Kota Yogyakarta No 8 Tahun 1998 Tentang Izin Penyelenggaraan Reklame”.
Bagi komunitas peduli ruang publik ini iklan telepon selular itu merusak jembatan Kewek (Kerkweg) sebagai situs budaya dan sejarah. “Pemasangan papan reklame maupun bendera partai politik secara serampangan merusak keindahan kota,” ujar Ketua Komunitas Resik Sampah Visual, Sumbo Tinarbuko kepada Tempo di Jembatan Kewek.
Sumbo mengatakan, sebanyak 300 sampah visual yang dikumpulkan masyarakat menjadi hadiah bagi Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, yang berulang tahun ke-49 pada 9 Februari lalu. Sampah visual itu berupa umbul-umbul partai politik, rontek, spanduk, poster. “Ada 300 sampah visual yang kami serahkan ke pemerintah kota sebagai kado untuk ulang tahun Wali Kota Yogyakarta,” katanya.
Baca Juga:
Menurut dia, aksi itu untuk mengingatkan semua pihak agar tak memasang reklame dan logo partai politik secara serampangan. Ruang publik Kota Yogyakarta saat ini menjadi merek dagang partai politik dan perusahaan. “Kami tidak anti iklan. Akan tetapi, iklan luar ruang harus ditata agar tidak menjadi teroris visual bagi para pengguna jalan,” kata dosen seni rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Sumbo menilai iklan luar ruang di Kota Yogyakarta makin mengkhawatirkan. Kota Yogyakarta menjadi wilayah kedua setelah Kabupaten Sleman yang memberi keleluasaan industri dan partai politik untuk memasang papan reklame, iklan, dan umbul-umbul secara serampangan sejak 5-7 tahun lalu.
SHINTA MAHARANI