TEMPO.CO, Jakarta - Ketua II Gabungan Koperasi Tahu-Tempe Indonesia (Gakoptindo), Sutaryo, mendesak pemerintah segera menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) kedelai. "Sebelumnya kan dijanjikan akhir Januari. Ini sampai Februari belum jadi," ujarnya saat dihubungi, Selasa, 12 Februari 2013.
Penetapan HPP, menurut Sutaryo, penting agar petani lebih antusias bertanam dan meningkatkan produksi kedelai sehingga Indonesia tak lagi bergantung pada impor.
Ketergantungan terhadap asing, menurut Sutaryo, sangat merugikan. Saat ini, misalnya, musim dingin yang melanda Amerika Serikat menurunkan produksi dan otomatis mengerek harga kedelai yang dikirim dari sana. "Sebulan terakhir harga terus naik," ujarnya.
Ia menyebutkan, sebulan lalu, harga kedelai impor masih sekitar Rp 7.300 hingga Rp 7.500 per kilogram. Saat ini, di Jakarta, harganya sudah mencapai sekitar Rp 9.500.
Kenaikan harga kedelai bukan hanya terjadi di sekitar Ibu Kota, tapi juga dirasakan oleh pengusaha di luar daerah. Di Solo dan Yogyakarta, misalnya, harga kedelai impor sekitar Rp 8.000 hingga Rp 8.500. "Kita sudah mulai tipis-tipiskan irisannya," kata Sutaryo.
Pemerintah sebenarnya telah cukup lama menggodok regulasi soal harga pembelian pemerintah (HPP) kedelai itu. Beleid itu akan diterbitkan berupa Peraturan Presiden dan diperinci dalam peraturan teknis yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan. "Insya Allah akhir Februari. Permendag akan siap setelah Perpres-nya selesai segera," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.
Bulog mencatat, produksi kedelai nasional tahun lalu hanya mencapai 779.800 ton. Padahal, jumlah kebutuhannya mencapai 2,48 juta ton, di mana sekitar 1,83 juta ton di antaranya terserap oleh industri tahu dan tempe.
Kekurangan kedelai nasional dipenuhi melalui impor, di mana kedelai impor Amerika telah mendominasi sejak lima tahun terakhir. Indonesia merupakan negara importir kedelai terbesar kedua setelah Cina, yang mengimpor 21 juta ton per tahun.
PINGIT ARIA