TEMPO.CO, Jakarta -Di sebuah hotel di Makassar, seorang perempuan menyatakan kekagumannya terhadap pembicara cantik, Angkie Yudistia. “Saya tidak mengira Mbak Angkie tunarungu,” katanya. “Mbak Angkie cantik, model lagi. Ternyata Mbak Angkie sama seperti kita.” Saat itu, Desember lalu, Angkie sedang berbicara di depan para difabel (difable/different ability people) yang diselenggarakan dalam program CSR dari PLN Indonesia. Kegiatan itu merupakan satu dari berbagai kegiatan Angkie sebagai Chief Executive Officer Thisable Enterprise (TE), sebuah perusahaan yang membantu kaum difabel mendapatkan pekerjaan.
Memang, kalau melihat sepintas, orang tak menyangka Angkie mengalami masalah pendengaran. Angkie seolah tak bermasalah dalam berkomunikasi. Sejauh bertatap muka dengan lawan bicara, ia bisa berkomunikasi dengan baik. “Kalau hanya mendengar suara dan tidak melihat gerak bibir, saya tidak bisa berkomunikasi,” katanya, beberapa waktu lalu. Yang membedakan, ia mengenakan alat bantu dengar yang seperti earphone. “Pernah ada orang yang memuji, kok pakai earphone-nya keren. Mereka tidak tahu ini alat penting alias nyawa saya,” ujarnya sembari tersenyum.
Belakangan, terutama sejak terlibat di Yayasan Tunarungu Sehijara pada 2009, Angkie memang banyak berbicara di forum para difabel ataupun pebisnis. “Saya suka berbagi ilmu dan pengalaman untuk memberikan semangat dan motivasi bagi kemajuan teman-teman difabel,” kata perempuan berusia 25 tahun ini. Tapi, ia juga mendorong para pelaku bisnis untuk tidak anti-kaum disabilitas untuk bekerja di perusahaan mereka. “Meski dengan keterbatasan, mereka (orang difabel) punya hak yang sama untuk sukses dan maju.”
Angkie menjadi contoh hidup. Meski telah tunarungu sejak berusia 10 tahun, saat duduk di bangku kelas IV sekolah dasar, ia berhasil dalam berbagai bidang, termasuk modeling. Bungsu dua bersaudara ini adalah finalis dalam pemilihan Abang dan None Jakarta Barat pada 2008. Ia juga masuk daftar The Most Fearless Female Cosmopolitan 2008 dan Miss Congeniality oleh Natur-e. Di dunia bisnis, ia pun sukses dengan perusahaannya yang didirikan pada 2011, Thisable Enterprise.
Tentu jalan yang ditapaki Angkie tak mudah. Ia bingung ketika awal-awal tak bisa mendengar. “Saya bersyukur, saya memiliki mama dan papa yang selalu mendukung saya dan menganggap keterbatasan saya bukan alasan atau kendala untuk maju,” katanya. Ia terus dimotivasi oleh orang tuanya agar tak minder dan terus bertemu orang.
Angkie pun terpacu. Tak memilih sekolah luar biasa, ia belajar di sekolah umum. Bahkan ia berhasil menyelesaikan pendidikan hingga master di bidang komunikasi pemasaran di London School of Public Relations.
Ketika kuliah, Angkie dibujuk teman-temannya untuk ikut pemilihan Abang dan None, yang kemudian dia ikuti. Di luar dugaannya, ia berhasil menjadi finalis. Sejak itu, modeling juga menjadi dunianya.
Namun dunia model tak benar-benar ia seriusi. Ia lebih memilih dunia kerja biasa. Meski kerap ditolak, ia pernah menjadi humas beberapa perusahaan. Sampai akhirnya dia mendirikan TE bersama teman-temannya. Angkie memang sejak kecil sudah bercita-cita menjadi wanita karier. Layar televisi yang kerap memamerkan perempuan pekerja yang mengenakan rok dan blazer yang cantik, menarik, dan pintar menarik minatnya. “Saya berusaha meraih cita-cita tersebut dan bersyukur bisa berhasil,” katanya.
Kini, cita-cita kecil Angkie sudah tercapai. Tapi ia masih terus ingin melebarkan sayapnya. Sebuah buku yang menginspirasi pun dia telurkan, yakni Perempuan Tunarungu Menembus Batas. “Saya ingin seperti Helen Keller (penulis yang tunarungu dan tunanetra). Dengan keterbatasannya, ia tetap bisa mencapai cita-cita yang luas,” ujar Angkie dengan serius.
HADRIANI PUDJIARTI