TEMPO.CO, Jakarta -Dua abad lalu, batik dapat memukau Sir Thomas Stamford Raffles. Letnan Gubernur Hindia-Belanda untuk Kerajaan Inggris itu kepincut hingga mengirim katun bercorak warna-warni tersebut ke negerinya bersama dengan beraneka koleksi flora, fauna, dan artefak dari Jawa. Celakanya, kapal pengangkut kiriman tersebut terbakar di tengah laut. Tapi Raffles tak menyerah. Tak lama berselang, pria yang kini lebih dikenal sebagai pendiri Singapura itu mengirim kapal kedua dan memperkenalkan batik ke Inggris. Bukunya yang bertajuk The History of Java melengkapi pengetahuan warga Eropa tentang batik.
Sabtu dua pekan lalu, Poppy Dharsono seolah ingin mengulang upaya Raffles dalam memasyarakatkan batik ke dunia internasional. Lewat peragaan busana bertajuk New Year Fashion Show, Poppy ingin mengakrabkan kalangan ekspatriat di Indonesia dengan kain khas Nusantara. “Selama ini mereka takut warna batik tidak cocok dengan kulitnya atau motifnya yang terlalu ramai,” kata Poppy seusai pergelaran di rumah dinas Duta Besar Meksiko, Melba Pria.
Siang itu, Melba tak hanya menjadi tuan rumah, tapi juga peragawati dadakan. Hal serupa dialami Duta Besar Suriname, Titi Amina Pardi; istri Duta Besar Jepang, Etsuko Katori; dan istri Duta Besar Yunani, Clara Zondag Pek. Mereka membawakan sekitar 40 koleksi Poppy dalam dua babak terpisah. Tema besarnya memang batik, tapi kain tapis dan songket menjadi “bintang tamu” di beberapa koleksi.
Poppy membuka pertunjukan dengan busana santai hingga semiformal. Sebagian besar busana dalam bagian ini berwarna pastel yang lembut, seperti biru muda, hijau pupus, krem, serta nuansa cokelat dan hitam dari batik. Namun, sesekali muncul koleksi tapis yang mencolok dengan warna emas yang menjadi ciri khas Poppy selama ini.
Poppy menggabungkan gaun pink midi dengan blazer batik, sebagai luaran. Ada juga celana batik dengan potongan pipa menyerupai sayap pada bagian samping yang dipadu dengan atasan tanpa lengan berwarna khaki. Busana-busana multipieces, seperti kemben dan gaun atau jumpsuit, juga muncul yang dipadukan dengan luaran blazer ataupun jubah dari batik, tapis, dan bahan tulle. Duta Besar Ethiopia, Alice Mageza, melenggang dengan busana one piece, yakni kaftan berbahan tulle dengan turban.
Pada bagian kedua, Poppy memainkan kain tradisional dengan bahan yang jatuh seperti sutera sifon atau bahan dengan tekstur licin mengkilap, misalnya taffeta dan sutera Siam. Dua gaun dengan rok tumpuk hadir bertolak belakang, yakni berani dipadu dengan atasan yang pipa tangannya menggembung lebar dan kalem dengan blazer warna cokelat lembut.
Dua jubah panjang yang menyapu lantai adalah yang paling menarik perhatian. Satu jubah dari kain batik berkerah cheongsam yang dipadu dengan gaun maxi merah sebagai dalaman. Satu lagi berkerah lebar dari kain songket yang dipasangkan dengan kemben batik mini. Koleksi lain yang menonjol juga muncul, berupa rok batik lebar yang dipadu dengan atasan hitam serupa beskap, seragam tradisional pria Jawa Tengah.
Poppy sukar sekali lebih berani dari itu. Dia memilih bermain aman dengan memberikan potongan yang simpel dan modern untuk koleksinya kali ini. Motif pada setiap kain Nusantara ini mampu muncul dengan kuat tanpa perlu bantuan detail yang rumit. Toh, misinya tetap berhasil. Mengenakan rok panjang bercorak “parang rusak” dan bersabuk emas, Melba tampil anggun tapi tetap formal dengan kemeja putihnya. Blazer batik hitam mempercantik setelan sederhana Etsuko.
RATNANING ASIH | AGOENG WIJAYA