TEMPO.CO, Jakarta - Keributan ini tak lain disebabkan oleh hasil survei majalah Retorika--majalah internal yang diterbitkan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP-Unair), Surabaya. Artikel tersebut mengungkapkan perempuan eksperimen alias perek--istilah kala itu sangat dikenal di kalangan warga Surabaya untuk menyebut seorang gadis yang gemar melakukan hubungan seks bebas--di kalangan kampus.
Hasil survei Retorika--selanjutnya ditulis oleh majalah Tempo edisi 1993--menyebutkan bahwa 0,02 persen mahasiswa perguruan tinggi top di Jawa Timur itu adalah perek, yang sekarang dikenal dengan panggilan ayam kampus.
Pemasok ayam kampus itu, antara lain, berasal dari Fakultas Ekonomi, namun tak disebutkan jumlahnya. Di lingkungan FISIP, tulis Retorika, tersedia 40 mahasiswi berstatus perek. Bahkan 5,7 persen mahasiswa FISIP menganut ideologi seks bebas. "Ini yang mengaku, yang tidak mengaku tentu lebih besar," tulis Retorika.
Inilah pangkal geger besar di Unair. Lebih-lebih hasil survei Retorika diwartakan oleh sejumlah media lokal. Akibatmya, Sumiyanto, penulis hasil survei tersebut, dihajar oleh sekitar 15 mahasiswa FISIP. "Dia tega mengungkap aib kampus," ujar salah seorang pelaku pengeroyokan. "Mau jadi pelacur atau perek, itu urusan pribadi."
Rektor Unair kala itu, Profesor Bambang Rahino, meragukan hasil pengumpulan pendapat majalah tersebut, "Apa metodologinya dan siapa sumber penelitiannya?"
Menurut Dede Oetomo, staf pengajar di Fakultas Psikologi Unair, tak terlalu susah meneliti perilaku mahasiswi nakal. "Cukup dengan metode random, acak. Jadi, kalau ada dua mahasiswi saja dari 50 mahasiswi yang tertangkap sebagai perek, sudah bisa disimpulkan bahwa 4 persen mahasiswi adalah perek," katanya. (Baca: Edsus Ayam Kampus)
CHOIRUL AMINUDDIN
Berita lain:
Ayam Kampus Lebih Mahal dari PSK Umum
Sosiolog: Tidak Ada yang Aneh dalam 'Ayam Kampus'
Psikolog: Ayam Kampus Ada Karena Permintaan
Ayam Kampus Ada Akibat dari Budaya yang Luntur