TEMPO.CO, Jakarta - Diarisya Karelia, balita berumur 3,5 tahun itu, tengah asyik mengorek-ngorek tanah dengan sekop mininya. Di sepetak lahan kosong, Diarisya bersama tantenya, Hilda Devy Darlianti, 27 tahun, bekerja sama mencampur tanah sawah dengan pupuk organik. Lahan kosong di tengah-tengah sawah itu akan ditanami sayur-sayuran seperti kangkung, caisin, selada, kacang panjang, pokcai, dan timun.
Ahad pagi, 17 Februari 2013, mereka bersama dengan peserta lainnya sedang belajar berkebun di Sekolah Alam Bandung, Jalan Dago Pojok Tanggulan, Cikalapa, Dago, Bandung. Bersama sekitar 60 orang lain, mereka mengikuti kegiatan Bandung Belajar Berkebun (BBB) yang diselenggarakan oleh komunitas BdgBerkebun.
BdgBerkebun merupakan komunitas yang peduli akan kualitas ruang kota dengan berupaya memanfaatkan lahan yang tidak produktif dan terbatas menjadi produktif melalui kegiatan berkebun.
“BdgBerkebun lebih ke gerakan hijau, ekonomi, ekologi, dan edukasi. Hari ini kegiatannya lebih ke edukasi berkebun atau urban farming di lahan terbuka dekat sawah,” kata Bimo Sukowijoyo, koordinator BdgBerkebun kepada Tempo di sela kegiatan.
Bimo mengatakan, kegiatan Bandung Belajar Berkebun menitikberatkan pada praktek belajar budi daya tanaman, dari proses penyemaian bibit, penanaman, pemeliharaan tanaman, hingga panen. “Peserta diberi pelatihan setiap minggunya hingga waktunya panen,” kata Bimo.
Ada transfer pengetahuan, yaitu pemahaman konsep dasar berkebun seperti perlunya pemupukan, pengendalian hama penyakit tanaman (PHPT), pertanian organik, dan pertanian modern. Peserta juga diajak untuk mengetahui proses pembuatan pupuk organik dan pestisida organik. Kemudian Fieldtrip, yaitu berkunjung ke kebun sayur organik, dan belajar pengelolaan bentuk kebun. “Tidak hanya materi, tapi juga praktek langsung,” ujarnya.
Bimo mengharapkan pendidikan berkebun yang dipraktekkan di lahan terbuka itu bisa juga diaplikasikan oleh para peserta di lingkungan sekitar mereka. Misalnya membentuk vertical garden di rumah, sekolah, kampus ataupun di kantor.
Dalam kegiatan Bandung Belajar Berkebun, peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok dari berbagai kalangan usia dan profesi, dari usia anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua. Ada pelajar sekolah, mahasiswa, pekerja kantoran, hingga ibu rumah tangga.
Di setiap kelompok ada fasilitator yang bertugas memberi arahan mengenai tata cara berkebun. Pertama, para peserta diarahkan untuk mencangkul tanah sawah yang padat supaya menjadi lebih gembur. “Tanah dicangkul supaya terbentuk rongga-rongga udara,” kata Hanifah, salah satu fasilitator Bdg Berkebun.
Kemudian, tanah sawah yang memiliki sifat masam tersebut dicampur dengan pupuk organik supaya unsur haranya terpenuhi. Setelah tanah dan pupuk sudah menyatu, dan setiap petak tanahnya sudah dicangkul, barulah benih-benih sayuran disemai secara teratur. Kemudian ditanam dan disiram. “Sekitar dua minggu sudah menjadi bibit, beberapa minggu ke depan tinggal di panen,” kata Hanifah.
Hilda Devy Darlianti, peserta asal Bandung, mengatakan sengaja membawa keponakannya belajar berkebun dari usia balita. “Supaya dia terbiasa dengan alam, bermain tanah dan tidak takut kotor. Kalau saya memang penasaran ingin berkebun, mumpung hari libur, ” kata Hilda sambil meneruskan menyangkul tanah.
RISANTI