TEMPO.CO, Stockholm - Perkembangan konflik di dunia dan turunnya anggaran militer sejumlah negara menyebabkan angka perdagangan senjata dunia pada 2011 turun. Menurut studi Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), yang hasilnya dipublikasikan kemarin, penurunannya sekitar lima persen dibanding tahun sebelumnya.
SIPRI adalah lembaga internasional independen yang berkantor pusat di Stockholm, Swedia, dan meneliti soal konflik dan kontrol persenjataan. Menurut lembaga ini, nilai perdagangan senjata dan penyediaan jasa militer dari 100 perusahaan top yang ada dalam daftarnya mencapai US$ 410 miliar pada 2011. Perkembangan ini juga berkebalikan dengan perdagangan rata-rata sejak 2002 di mana penjualan senjata oleh sekitar 100 perusahaan top bidang militer yang meningkat 51 persen.
Peneliti SIPRI Susan Jackson mengatakan tren penurunan dimulai sejak pertengahan 1990-an ketika belanja pertahanan mulai merosot setelah perang dingin berakhir. Nilai perdagangan itu kembali naik pada 2000-an sebelum akhirnya melambat pada 2010. Saat itu hanya terjadi pertumbuhan satu persen, turun jauh dari tahun 2009 yang mencapai delapan persen. Penurunan dimulai setelah pasukan asing mulai ditarik dari Irak.
Dari data yang dimliki SIPRI, perusahaan industri militer yang berkantor pusat di Amerika Utara dan Eropa Barat masih terus mendominasi daftar 100 perusahaan itu. Namun, perusahaan penyuplai kebutuhan militer asal Cina tak masuk dalam daftar SIPRI karena kurangnya data yang dimiliki. Sebanyak 11 produsen senjata yang berbasis di Amerika menguasai 60 persen dari total penjualan senjata. Sebanyak 30 perusahaan yang berbasis di Eropa Barat menguasai 29 persen penjualan.
Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap penurunan penjualan senjata ini. "Adanya kebijakan penghematan dan penurunan secara riil pengeluaran militer serta penundaan dalam program pengadaan senjata mempengaruhi penjualan secara keseluruhan perdagangan senjata di Amerika Utara dan Eropa Barat," kata SIPRI dalam siaran persnya kemarin.
Perkembangan di wilayah konflik, khususnya penarikan tentara dari Irak dan Afghanistan serta sanksi embargo senjata ke Libya, juga berperan dalam penurunan penjualan senjata. Larangan penjualan senjata ke Libya dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB pada Februari 2011 lalu setelah Presiden Libya Muammar Qadafi dianggap melanggar HAM saat menghadapi pemberontakan di negaranya.
Perusahaan-perusahaan itu tidak kehabisan strategi menghadapi penurunan angka perdagangan ini. Menurut Susan Jackson, ada perusahaan yang berfokus mengejar pasar yang sangat khusus di militer, sementara yang lain melakukan perampingan atau diversifikasi ke pasar yang berdekatan. Sejumlah perusahaan juga telah mendirikan anak perusahaan di luar negeri untuk mengakses aliran pendapatan baru di Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia.
Menurut SIPRI, tren terbaru yang dilakukan perusahaan-perusahaan itu adalah melakukan diversifikasi usaha ke jasa pengamanan di dunia cyber (cybersecurity), yang spesialisasinya melindungi komputer dan jaringan dari penyusupan dan serangan. "Diversifikasi ke cybersecurity memungkinkan produsen senjata memperluas pelanggan sipil mereka, misalnya untuk menyasar lembaga pemerintah atau operator swasta yang menangani infrastruktur penting, dan pada saat yang sama mengembangkan kompetensi teknis dalam bidang perang elektronik untuk pasar militer," kata dia.
REUTERS | SIPRI | ABDUL MANAN