TEMPO.CO, Rembang - Ekspor ikan teri dari Rembang, Jawa Tengah, dihentikan karena pasokan dari nelayan sepi akibat cuaca buruk. Di Rembang, terdapat 18 perusahaan pengolahan ikan kering. Bahan bakunya dipasok oleh nelayan Rembang, Pati, Jepara, dan Tuban. “Pasokan terhenti karena cuaca buruk, sehingga nelayan tidak berani melaut,” kata Mustari, pengusaha pengeringan CV Mahera, Rembang, Selasa, 19 Februari 2013.
Ikan teri (Stelephous commersonii) merupakan primadona pasar ekspor Jepang dan Singapura. Pasar Jepang lebih menggemari ikan teri kelas satu dengan kategori S, yakni dengan ukuran 1-1,5 sentimeter. “Kami dapat ekspor 10-15 ton per bulan melalui perantara eksportir asal Gresik dan Jakarta,” kata Mustari.
Belakangan ini, tangkapan teri di perairan Rembang mulai sulit. Nelayan yang melaut mulai pagi hari hingga pukul 12 siang hanya bisa memperoleh 25 kilogram ikan teri. Akibat cuaca buruk, sebagian besar dari 18 perusahaan pengolah ikan kering tutup. Padahal, tiap tahun, perusahaan itu mampu produksi 4.410 ton dengan nilai Rp 154,35 miliar.
Selama cuaca buruk, sejumlah nelayan Rembang berusaha mengadu nasib ke perairan Lampung. Wilayah perairan Lampung sangat menjanjikan dibanding Rembang. “Mereka betah tinggal selama beberapa bulan hanya untuk menangkap ikan teri,” kata Rasno, Kepala Desa Pasarbanggi, Kecamatan Rembang.
Dalam sehari, seorang nelayan bisa mengantongi uang Rp 2-3 juta. Ada sekitar 200 nelayan Rembang yang berlayar ke Lampung. Selain itu, nelayan Rembang juga menangkap ikan teri di perairan Maringgai, Sumatera, dengan hasil tangkapan berkisar Rp 2 juta sampai Rp 12 juta per hari. “Kalau lagi sepi masih bisa Rp 2 juta per hari,” ujar Rasno.
Kesulitan bahan baku juga dialami usaha ikan pindang. Dari 100 ton ikan pindang sehari yang dihasilkan 509 unit dengan nilai produksi Rp 420 miliar, masih sangat bergantung pada ikan asal Cina. “Pasokan ikan lokal kosong, terpaksa kami menggunakan ikan impor asal Cina,” kata Eko Waluyo, importir ikan Rembang.
BANDELAN AMARUDIN