TEMPO.CO, Jambi - Bupati Tebo, Provinsi Jambi, Sukandar, menyatakan keprihatinannya karena lahan sawah beririgasi teknis di daerahnya hanya 600 hektare. Selebihnya, yakni 1.140 hektare dengan pengairan sederhana dan 4.869 hektare berupa ladang tadah hujan.
Penyebabnya, kata Iskandar, karena alih fungsi lahan persawahan menjadi kawasan perkebunan sawit dan karet. Produksi padi pun sejak 2010 mengalami penurunan 14,04 persen hingga 16,08 persen. ”Kondisi ini sangat kontradiksi dengan kebutuhan pangan masyarakat Tebo sehingga harus didatangkan dari daerah lain,” katanya, Kamis, 21 Februari 2013.
Untuk mengatasinya, Pemerintah Kabupaten Tebo bekerja sama dengan PT Wirakarya Sakti (WKS) yang bergerak di bidang hutan tanaman industri. Pihak perusahaan memberikan kesempatan kepada petani menggunakan lahannya dengan pola tumpang sari. Tanaman padi ditanam di sela-sela tanaman akasia dan eucalyptus.
Sebagai uji coba disediakan lahan 35 hektare kepada para petani yang tergabung Kelompok Tani Sumber Rezeki di Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tebohtengah Ilir. Setiap petani mendapat jatah lahan satu hektare. Bahkan, Rabu kemarin, dilakukan panen perdana. ”Kami berharap, dengan pola seperti ini, bisa menjadikan Kabupaten Tebo sebagai salah satu lumbung padi di Provinsi Jambi,” ujar Iskandar.
Juru bicara PT WKS, Kurniawan Gotama, menjelaskan, perusahaannya mengelola hutan produksi sekitar 395 ribu hektare. Selain di Kabupaten Tebo, juga di Kabupaten Muarojambi, Tanjungjabung Barat, Tanjungjabung Timur, dan Kabupaten Batanghari. Pola tumpang sari yang diterapkan di Kabupaten Tebo merupakan salah satu bentuk corporate social responsibility (CSR) perusahaannya. ”Kami siap melakukan hal yang sama di daerah lainnya,” ucapnya.
Kurniawan menjelaskan, perusahaannya bersedia menerapkan pola tumpang sari. Sebab, berdasarkan data Bulog, tahun 2012 lalu, Provinsi Jambi merupakan daerah penyumbang terkecil kebutuhan pangan secara nasional. ”Kami ingin membantu mengatasinya,” tuturnya.
Selain menyediakan lahan, PT WKS juga menyediakan bibit padi. Bahkan PT WKS siap memberikan bantuan ternak. Progran CSR lainnya adalah mendukung ekonomi masyarakat berbasis hasil hutan bukan kayu, seperti pemanfaatan madu dan bambu. Pohon sialang juga dibiarkan untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. ”Kami bersyukur karena selama ini kami membuka lahan dengan sistem ladang berpindah,” kata Maryono, 54 tahun, salah seorang anggota Kelompok Tani Sumber Razeki.
SYAIPUL BAKHORI