TEMPO.CO, Surabaya - Kementerian Kehutanan menegaskan akan mempermudah proses pengajuan izin pemanfaatan penggunaan hutan lindung bagi investor yang bergerak di bidang energi terbarukan, khususnya panas bumi.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Iman Santoso, menampik tudingan bahwa kementeriannya sering mengganjal proses izin pemanfaatan hutan konservasi untuk kepentingan energi terbarukan.
Ia menegaskan, kebutuhan lahan hutan guna pengembangan energi terbarukan, khususnya panas bumi tak butuh lahan besar. "Kami siap mempermudah proses izin pemanfaatan hutan lindung bagi pengembangan energi terbarukan," kata Iman seusai Sysmposium on Mangrove Ecosystem Gathered in Southeast Asia di Surabaya, Rabu 27 Februari 2013.
Iman menjelaskan, seringnya izin tak berjalan mulus lantaran terkendala dari pemerintah daerah setempat dan penolakan masyarakat. Ia mengakui investor sering menghadapi kendala soal izin masuk hutan lindung tersebut. Bukan hanya panas bumi, kata Iman, kementerian menjanjikan kemudahan untuk izin eksploitasi minyak dan gas bumi di area hutan konservasi.
"Seperti proyek panas bumi Bedugul di Bali, itu karena ada penolakan masyarakat dan dari Pemerintah Daerah setempat. Jadi bukan kementerian menghalanginya," ujarnya.
Meski demikian, kementerian tetap selektif menerbitkan izin pemanfaatan hutan konservasi. Sepanjang kegiatan investor berdampak positif bagi perputaran roda ekonomi setempat, Iman menegaskan tak ada alasan bagi kementerian menolak izin permohonan tersebut.
Iman melihat ada dua keuntungan ganda sekaligus bagi investor dan masyarakat lokal. Selain menghasilkan energi, masyarakat dapat bekerja di sektor tersebut. "Itu sudah di atur undang-undang. Kami mendukungnya sepanjang berdampak positif," ucap Iman.
DIANANTA P. SUMEDI
Berita Bisnis Terpopuler:
Kurator Diminta Cermati Harta Pailit Batavia Air
Pemerintah Ingin Perbaiki Semua Jalan pada 2014
Asosiasi Ponsel Dukung Pabrik Samsung
Bergerak Tenang, Rupiah Hanya Melemah Tipis 1 Poin
Daerah Hijau Hulu Ciliwung Tinggal 3 persen