TEMPO.CO, Jakarta -Baru disahkan pada 11 Februari lalu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 07 Tahun 2013 menuai protes. Penerapan beleid itu membatasi kepemilikan gerai restoran waralaba menjadi maksimal 250 unit. Kementerian Perdagangan dikabarkan membuka pintu dialog kemungkinan perubahan beleid itu. "Tapi kami akan tunggu hingga tiga bulan, jika tidak memuaskan, kita akan mengajukan judicial review," ujar Ketua Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia, Levita Supit di Gandaria City, Jakarta, Rabu 27 Februari 2013.
Nelson B.L. Tobing, pengacara dari Levita, Ariawan, Tobing & Partners menjelaskan semangat yang diusung Kementerian Perdagangan untuk melibatkan pengusaha kecil dalam waralaba tidak sesuai dengan Pasal 36 Undang-undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. "Dalam pasal tersebut diatur bahwa usaha besar dilarang memiliki dan atau menguasai usaha mikro, kecil dan atau menengah sebagai mitra usahanya," ujarnya.
Selain itu, pasal 5 Permendag memberi kesempatan pemilik waralaba (franchisor) mengurangi kepemilikan tunggal gerai mereka dengan cara penyertaan modal dinilai bermasalah. Sebab, hal itu mengkhianati esensi waralaba sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2007. "Penyertaan modal itu sama sekali tidak masuk akal, kalau masih dikontrol pemberi waralaba, tidak ada lagi independensi," ujarnya.
Menurut Nelson, penyertaan modal dalam pola kerja sama janggal. Persyaratan yang dimaksud, yakni untuk nilai investasi kurang dari Rp 10 miliar maka penyertaan modal yang dikerja samakan paling sedikit 40 persen dari total investasi. Sedangkan untuk waralaba restoran atau kafe yang nilai investasinya di atas Rp 10 miliar maka jumlah penyertaan modal dari masyarakat yang ingin memiliki gerai tersebut sedikitnya 30 persen dari total investasi sebuah gerai.
PINGIT ARIA