TEMPO.CO, Beijing - Tayangan eksekusi empat terpidana pembunuhan terhadap 13 pelaut Cina dua tahun lalu, dikecam warga. Meski acara berdurasi dua jam itu berakhir tepat sebelum hukuman mati dengan cara disuntik itu, dilaksanakan.
Ada yang menyatakan program itu mengekspos rasa haus darah, ada juga yang beranggapan itu wujud katarsis kemarahan masyarakat atas pembunuhan dua tahun lalu. Beberapa kritik menyatakan tayangan tersebut mengingatkan kejadian di masa lalu tentang para pesakitan yang diarak di jalan-jalan sebelum ditembak mati.
“Bukan menunjukkan penegakkan hukum, program itu malah mempertontonkan kendali negara atas hidup manusia,” kata Han Youyi, professor hukum kriminal dalam akun mikroblog-nya. “Kekerasan yang dilakukan negara tidak lebih mulia dari kekerasan kriminal.” Salah seorang aktivis hak asasi manusia menyatakan tayangan dalam stasiun televisi nasional CCTV itu melanggar hukum pidana.
Tayangan itu memperlihatkan Naw Kham, pemimpin penyelundup obat-obatan terlarang asal Myanmar yang dituduh melakukan eksekusi brutal terhadap para pelaut Cina Oktober 2011. April lalu, enam tersangka, termasuk Naw Kham diserahkan ke Laos oleh tim penyelidik yang terdiri atas pejabat Cina, Thailand, Laos dan Myanmar.
Naw Kham dan teman-temannya disidangkan November lalu di Yunnan, Cina Barat Daya. Kham, seorang warga Laos, Thailand dan orang ketiga yang tidak diketahui kewarganegaraannya dilaporkan mengaku bersalah. Dua orang lain dibui, namun selamat dari hukuman mati.
Namun ada banyak yang menyukai acara menjelang eksekusi suntik itu. Mereka serius mengikuti wawancara dengan polisi yang menangkap para terpidana, dengan tulisan di televisi bertuliskan “Bunuh Sang Gembong”. Seorang blogger malah menyatakan hukuman mati dengan disuntik, terlalu ringan.
Ketika para terpidana digiring dari sel mereka ke dalam van yang membawa mereka ke ruang eksekusi, seorang reporter bertanya kepada Naw Kham soal keluarga sembari memperlihatkan foto keluarga korban yang berduka. “Saya ingin membesarkan anak-anak saya dan memberikan pendidikan bagi mereka,” kata Naw Kham dengan senyum yang samar. “Saya tidak ingin mati.”
THE NEW YORK TIMES | NATALIA SANTI