TEMPO.CO, Queensland - Sekelompok peneliti lingkungan mengatakan bahwa legalisasi perdagangan cula badak sudah waktunya diperlukan untuk menyelamatkan hewan ini. Mereka menulis laporan di jurnal Science yang berpendapat bahwa larangan global telah gagal membendung permintaan internasional yang tak pernah puas.
Para penulis mengatakan bahwa pasar dapat dipenuhi oleh pihak-pihak yang mencukur tanduk dari badak hidup. Saat ini di Afrika Selatan, rata-rata dua badak terbunuh setiap hari akibat perburuan ilegal. "Perburuan sekarang di luar kendali," ujar penulis utama penelitian Dr Duan Biggs dari Universitas Queensland.
Pada dasarnya, apa yang sedang dibuat saat ini adalah perang semu dengan orang-orang. Beberapa di antaranya adalah masyarakat lokal yang terlibat dalam perburuan. "Situasi saat ini gagal, semakin lama kita menunggu untuk dimasukkannya perdagangan legal untuk badak, semakin kita kalah," kata Dr Biggs.
Saat ini diperkirakan sekitar 20 ribu badak putih tertinggal dengan mayoritas di Afrika Selatan dan Namibia. Juga 5.000 ekor badak hitam diperkirakan masih hidup, tetapi badak hitam barat telah dinyatakan punah pada 2011 lalu.
Perdagangan cula badak dilarang di bawah Konvensi perdagangan internasional spesies langka. Delegasi dari 178 negara akan bertemu di Bangkok pekan depan untuk memperbarui perjanjian berusia 40 tahun itu.
Namun, menurut laporan jurnal Science, larangan tersebut sebenarnya dapat meningkatkan perburuan ilegal oleh sedikitnya pasokan cula badak dan menaikkan harga. Pada tahun 1993, 1 kilogram cula dijual seharga US$ 4.700. Tahun 2012 dijual dengan harga US$ 65 ribu.
Upaya untuk membatasi perdagangan dengan membujuk konsumen obat Cina dengan penjelasan bahwa cula tak memiliki efek terapi, juga gagal. Dalam laporan mereka, para peneliti berpendapat bahwa dengan memotong cula badak secara manusiawi, bahan tersebut cukup bisa memenuhi permintaan global. Cula badak tumbuh sekitar 0,9 kg tiap tahun. Para ilmuwan mengatakan bahwa risiko yang dialami badak akibat pemanenan cula akan minimal.
Para peneliti menganjurkan mendirikan sebuah organisasi penjualan sentral yang bisa mendeteksi DNA dari serutan sidik jari sehingga bisa mengendalikan pasar. Tetapi langkah ini banyak menuai kritik bagi aktivis satwa liar. "Kami tidak mendukung gagasan perdagangan yang disahkan seperti ini. Karena kami hanya berpikir itu tidak akan dilakukan," kata Dr Colman O'Criodain, analis kebijakan perdagangan satwa liar. Menurutnya, perdagangan yang dilegalkan seperti ini justru bisa membuatnya lebih buruk.
Namun, Dr Biggs dan rekan menunjukkan pengalaman pada buaya sebagai contoh. Bagaimana rezim perdagangan dilegalkan untuk kepentingan spesies yang terancam itu. "Telah ada perdagangan resmi yang sangat sukses untuk beberapa waktu," katanya. Ia memiliki bukti kuat bahwa cara ini bekerja. Contoh buaya ini menunjukkan cara tersebut dapat bekerja di negara-negara berpenghasilan rendah dan yang tidak memiliki struktur tata kelola yang kuat.
Para ilmuwan mengatakan bahwa mereka tidak menyukai gagasan perdagangan yang dilegalkan. Mereka juga berpendapat bahwa sumber daya konservasi sedang diambil dari tindakan lain dan sedang diarahkan ke antiperburuan.
BBC | ISMI WAHID
Berita terpopuler lainnya:
Bisnis Mahdiana, Istri Kedua Djoko Susilo
KPK: Silahkan Lapor Data Ibas
Nikah Kedua, KUA Mencatat Djoko Susilo 'Single'
Ferguson Ingin Jadi Direktur Manchester United
Bradley Manning Beber Pembocoran Rahasia Wikileaks
Demokrat Akan Gelar KLB Sebelum April