TEMPO.CO, Jepara - Pemerintah berencana memberlakukan kebijakan redenominasi atau penyederhanaan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi nilainya, yaitu dengan menghilangkan tiga angka terakhir. Saat ini pemerintah tengah mengajukan Rancangan Undang-undang Redenominasi ke Dewan Perwakilan Rakyat. Diharapkan pada 2014 sudah ditetapkan menjadi UU.
Ternyata Indonesia pernah melakukan kebijakan redenominasi. Tepatnya diberlakukan pada 13 Desember 1965 dengan menerbitkan pecahan dengan desain baru Rp 1 dengan nilai atau daya beli setara dengan Rp 1.000.
Kebijakan tersebut dilaksanakan berdasarkan Penetapan Presiden nomor 27 tahun 1965. Tujuannya untuk mewujudkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Indonesia, termasuk Provinsi Papua Barat.
Peneliti Ekonomi Unit Kajian Statistik dan Survei Bank Indonesia Solo Donny Ananta mengatakan kebijakan redenominasi pada 1965 tidak hanya untuk pecahan Rp 1.000. "Untuk semua pecahan rupiah yang ada saat itu," katanya di Bank Indonesia Solo di Jepara, Sabtu, 2 Maret 2013.
Sayangnya dia mengaku tidak tahu alasan pasti kebijakan redenominasi, selain untuk persatuan bangsa. Juga berapa lama redenominasi diberlakukan dan tanggapan publik saat itu. "Yang jelas kebijakan pada 1965 dilakukan secara tiba-tiba. Sedangkan rencana redenominasi kali ini didahului dengan konsultasi publik," ucapnya.
Dia mengatakan redenominasi sebagai pencitraan rupiah. Sebab dengan nilai nominal yang besar, rupiah dipersepsikan sangat rendah. Di Asia Tenggara, pecahan mata uang terbesar adalah Vietnam Dong dengan 500 ribu. Kemudian disusul Indonesia dan Kamboja Riel dengan pecahan 100 ribu.
Dia menilai masyarakat sebenarnya sudah terbiasa dengan penghilangan tiga digit terakhir. Terutama di hotel dan restoran yang biasa menampilkan harga dengan menghilangkan tiga digit terakhir. Misalnya Rp 100 atau Rp 25. "Maksudnya harganya Rp 100 ribu dan Rp 25 ribu," tuturnya.
Dia mengakui ada negara yang gagal melakukan redenominasi seperti Rusia, Argentina, dan Brasil. Penyebabnya karena diberlakukan saat perekonomian memburuk. Agar berhasil, redenominasi di Indonesia harus mendapat dukungan kuat dari pemerintah, parlemen, dan pelaku usaha. Kemudian diberlakukan saat kondisi makroekonomi stabil dan kondisi sosial politik kondusif.
Yang tidak kalah penting, sosialisasi ke masyarakat untuk memberi pemahaman bahwa redenominasi tidak sama dengan sanering atau pemotongan nilai uang. Deputi Kepala Perwakilan BI Solo Arif Nazaruddin mengatakan saat konsultasi publik seperti sekarang, masyarakat bisa menyampaikan berbagai masukan tentang redenominasi. "Kami mengharapkan masukan, agar nantinya dapat dijalankan secara luas. Termasuk di pasar-pasar tradisional," katanya.
UKKY PRIMARTANTYO
Berita terpopuler lainnya:
VIDEO Kekerasan Densus 88 Beredar di Youtube
Ramadhan: Anas Urbaningrum Sudah Tak Seperti Dulu
Jenderal Sutiyoso Ditipu Tukang Reparasi Jam
Ini Harga Jam Tangan Sutiyoso yang Ditilep Ahaw
Harlem Shake Mendunia, Begini Awal Ceritanya
ITB Tetapkan Uang Kuliah Rp 20 Juta per Tahun
SBY: Pengganti Anas, Bukan Ibas dan Bukan Ani
Rapat Cikeas Sudah Berlangsung Tiga Jam