TEMPO.CO, Jakarta--Tak sulit mendapatkan sebidang lahan di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Tanya saja ke sembarang orang--entah penjaga penginapan atau tukang kebun di wilayah itu. Mereka akan segera menunjukkan sebidang tanah dengan menyebutkan harganya.
+Masih ada lahan di daerah sini, Pak?
-Masih banyak, mau luasnya berapa? Yang lahan kosong atau ada bangunannya?
Tempo berkunjung ke Desa Gunung Pincung, Lokapurna, di wilayah Taman Nasional yang biasa dikenal Gunung Salak Endah, pertengahan Februari lalu. Seorang tukang kebun, sebut saja Ahmad, menawari lahan 2.000 meter persegi berikut bangunan 100 meter persegi dengan harga Rp 60 juta. “Saya tak menargetkan berapa nilai jasanya ya, seikhlasnya saja,” kata Ahmad tak sungkan.
Praktek menawarkan lahan di sekitar Gunung Salak Endah sudah menjadi hal biasa bagi warga. Haji Onden, 62 tahun, adalah tokoh perantara atau makelar tanah senior di sana. Lahan wilayah Lokapurna mulai memiliki daya pikat sejak beberapa jenderal seperti Mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal TNI (Purn.) H. Poniman (almarhum) dan Jenderal TNI Soerjadi Soedirja datang di kawasan itu sekitar 1974.
Awalnya Haji Onden menjual lahan milik orang tuanya, Kasan, yang memiliki jatah 2 hektare. Sebagaimana warga keturunan veteran asal Cibungbulang, keluarga Kasan menetap di wilayah Gunung Sari sejak 1967. “Saat pertama kali datang ke sini, untuk makan saja masih susah, jadi lahan dilepas,” katanya.
Pertama kali harga lahan yang dimakelari Haji Onden pada 1975 nilainya satu ringgit per meter persegi. “Itu harga lahan di dalam. Kalau di pinggir jalan sudah sepuluh perak,” tuturnya sembari menghisap rokok putih. Dia menjelaskan, lahan di wilayah Lokapurna itu statusnya lahan garapan dan bukan hak milik. “Kami menyebutnya over alih lahan, bukan jual-beli,” katanya.
Sepuluh tahun kemudian, harga lahan naik pesat menjadi Rp 10 ribu per meter persegi. Melonjaknya harga setelah ditemukan obyek wisata seperti Curug Seribu dan Curug Cigamea. “Yang pertama kali menemukan dua curug itu saya dan lima orang kerabat,” kata Haji Onden. Belakangan, pada 1987, Pemerintah Daerah Bogor menetapkan wilayah Gunung Salak Endah sebagai obyek wisata Puncak kedua. Bagaimana makelar menyulap taman nasional menjadi vila? Selengkapnya baca Majalah Tempo edisi Senin 4 Maret 2013.
TIM TEMPO
Baca juga:
Banjir Jakarta, Puncak Menolak Disalahkan
Longsor Puncak Akibat Alih Fungsi Lahan
Ratusan Vila Berdiri di Taman Nasional
Tak Boleh Ada Vila di Taman Nasional Gunung Halimun