TEMPO.CO , Makassar:Setiap pagi, Husdiana, 30 tahun, harus menyiapkan uang jajan buat putrinya, Zaskia Nur Putri, 8 tahun. Siswi Sekolah Dasar Kompleks Sudirman di Makassar ini enggan membawa bekal ke sekolah. Selain berat, Zaskia merasa malu jika harus membawa bekal ke sekolah.
Husdiana sebenarnya juga khawatir akan banyaknya jajanan tak sehat yang dijajakan di sekolah sang putri. Dosen jurusan gizi Politeknik Kesehatan Makassar, Aswita Amir, mengingatkan ada beberapa penyakit yang mengancam akibat jajan tak sehat, di antaranya diare karena makanan terkontaminasi mikroba dan keracunan makanan.
“Sejumlah jajanan juga sering kali diberi pemanis yang bisa memberi efek malas makan bagi anak. Lalu, kelebihan mengkonsumsi jajanan tak sehat justru bisa mengakibatkan kegemukan,” ucap Aswita yang ditemui di sela-sela konferensi pers PT Tupperware Indonesia mengenai program Aku Anak Sehat di Hotel Sahid Jaya, Makassar, Ahad lalu.
Jajanan yang dijual terbuka tanpa kemasan menjadi tidak sehat karena sudah terkontaminasi bakteri atau menggunakan pewarna yang tidak direkomendasikan. Aswita juga mengingatkan soal pemanis makanan yang tidak alami serta mengandung pengawet, seperti boraks dan formalin.
Jajanan yang sehat tak hanya mengandung karbohidrat, tapi juga protein dari ikan dan daging serta vitamin dari sayuran dan buah-buahan. “Jadi kandungan gizi perlu lengkap,” ujarnya.
Dokter spesialis anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia, Rachmat Sentika, mengatakan jajanan yang tidak sehat dapat menimbulkan dampak yang kurang baik untuk anak dan mengganggu kecerdasan anak akibat pola yang tidak sehat dan gizi yang dibutuhkan tidak sesuai.
“Untuk menjaga agar pola makan anak tetap bisa terjaga dan terkontrol, sebaiknya memberikan bekal ke sekolah,” kata Rachmat. Bekal yang dibawa dari rumah tentunya jauh lebih bersih, sehat, dan bergizi. Adapun makanan sehat dan berimbang harus mengandung karbohidrat, protein, serat, vitamin, mineral, dan kalsium. Menurut dia, gizi yang cukup dapat memacu konsentrasi anak ketika mengikuti proses belajar-mengajar.
Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, hanya sekitar 20 persen anak di tingkat sekolah dasar yang membawa bekal dari rumah. Ada 60 persen anak yang tidak membawa bekal, artinya mereka diberikan uang jajan. Padahal data Badan Pengawas Obat dan Makanan menyebutkan, keamanan pangan yang memenuhi syarat pada 2008-2010 adalah 56-60 persen. Jumlah ini meningkat menjadi 65 persen pada 2011 dan 76 persen pada 2012.
Menurut Rachmat, minimnya anak-anak yang membawa bekal ke sekolah disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya kurangnya kesadaran para orang tua akan pentingnya asupan makanan seimbang dan bergizi untuk pertumbuhan anak. Jika hal itu dibiarkan terus, target pencapaian pembangunan milenium pada 2045 untuk mendapatkan generasi emas yang mampu bersaing tidak dapat tercapai.
Indonesia saat ini dihadapkan pada tiga permasalahan anak, yakni gizi kurang, gizi buruk, dan anak pendek. Khusus untuk kasus anak pendek, jumlahnya cukup banyak. Hal itu disebabkan oleh kekurangan gizi kronis sehingga mempengaruhi pertumbuhan anak. “Kalau faktor genetik, tidak menjadi masalah,” ujar Rachmat.
Jika anak menolak membawa bekal ke sekolah, kata psikolog anak Rose Mini, para orang tua harus pintar memberikan penjelasan kepada anak agar mau membawa bekal. “Orang tua harus menguasai mengenai pola makan yang sehat serta harus cermat dan taktis dalam menularkan wawasan ini, kreatif dalam menyajikan bekal yang menarik untuk anak, serta jangan sekali-kali mengeluarkan suara yang bernada marah agar anak tidak merasa tertekan dan harus menuruti perkataan orang tuanya,” kata Rose.
IIN NURFAHRAENI DEWI PUTRI
Lalai, Ashanty pun Terserang Radang Otak
Tes Napas Deteksi Kanker Pencernaan
Bermain-main dengan Kreativitas
Sundul Bola Bisa Sebabkan Cedera Otak
Keindahan Diplomasi Batik
Zat Besi Dapat Mengurangi Gejala PMS