TEMPO.CO, Jakarta - Rekaman video lawas itu sempat membuat geger. Kritik tajam diarahkan kepada tim elite Kepolisian RI, Detasemen Khusus 88 Antiteror. Bahkan pembubaran satuan khusus pembasmi teroris mencuat lagi. "Usulnya sangat tidak logis. Kalau Densus Bubar siapa yang hadapi teroris?" kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Inspektur Jenderal (Purn) Ansyaad Mbai kepada Tempo, Kamis, 7 Maret 2013.
Video yang beredar di Youtube itu memang aksi Detasemen Khusus 88 Antiteror. Peristiwa itu diduga adalah rekaman dari aksi 18 anggota Densus 88 dan Brimob kala menangkap 14 warga Kalora, Poso, Desember 2012. Warga Kalora ini diperiksa atas dugaan keterlibatan mereka dalam penembakan empat anggota Brimob di Tamanjeka, Gunung Biru, Poso. Pada saat pemeriksaan, 14 orang ini dipukuli dan mengalami luka lebam dan luka fisik lainnya.
Belakangan terungkap sebagian isi video adalah rekaman peristiwa penyerbuan Densus 88 ke Tanah Tinggi, Poso, pada 2007. Sejumlah tersangka yang sepintas tampak sedang dianiaya adalah para pelaku pengeboman gereja dan pelaku mutilasi warga. Kepolisian mengatakan dua di antaranya, Wiwin Kalahe alias Tomo dan Basri,. kini sudah dipenjara.
Melihat video tersebut, sejumlah pemimpin Majelis Ulama Indonesia, Pengurus Pusat Muhammadiyah, dan ormas Islam melapor ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, akhir Februari lalu. Laporan ini kemudian diikuti pendapat sejumlah pakar supaya satuan khusus itu dibubarkan. Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani, menganggap kekerasan itu mengindikasikan adanya pelanggaran HAM berat oleh polisi. Komnas sedang menginvestigasi kasus tersebut dan sudah mengantongi bukti video kekerasan tersebut.
Ansyaad mengatakan tak mengerti dengan jalan pikiran para pengusul pembubaran Densus 88. Menurut dia, mereka yang menyudutkan dan menilai buruk kinerja Densus hanya karena satu peristiwa berarti tak mengerti akan bahaya yang dihadapi Indonesia saat ini. "Kita menghadapi kelompok jaringan yang melanggar HAM paling berat,” kata dia. “Densus hadir untuk memberantasnya."
Ansyaad berkisah singkat awal mula lahirnya Densus 88. Densus dibentuk karena respons pemerintah terhadap ancaman terorisme setelah kejadian Bom Bali I 2002. Kekuatan kepolisian yang reguler tidak memungkinkan untuk berfokus kepada penanggulangan terorisme. "Dari pengalaman, ya kami kewalahan. Kemudian disadari sebenarnya diperlukan satuan khusus yang punya kemampuan khusus untuk mengungkap dan menangkap teroris," ujarnya.
Mengendus jaringan terorisme yang tersebar di Indonesia bukan perkara gampang. Menurut Ansyaad, butuh investigasi dan perencanaan akurat. Di sisi lain, pemerintah tak ingin kecolongan dengan kejadian serupa di masa lalu. "Pemerintah tak ingin ada operasi militer seperti dulu yang akhirnya malah melanggar HAM secara masif,” kata dia. “Makanya dibentuklah satuan yang mumpuni, Densus 88."
Ansyaad memastikan kinerja Densus 88 dalam menangani para teroris lebih baik dibandingkan di negara-negara lain. "Kami lebih soft. Di Filipina pakai operasi militer, di Yaman terorisnya dirudal," kata mantan Kepala Polda Sumatera Utara ini.
MUNAWWAROH
Baca juga
EDISI KHUSUS: Kontroversi Densus
SBY Akui Lebih Sering ke Luar Negeri
Pereira: Inter Mampu Balikkan Keadaan
Ansyaad: Musuh Itu Teroris, Bukan Densus