TEMPO.CO, Jakarta - Selama meliput berita teroris, mantan wartawan TVOne, Grace Natalie Louisa, tidak pernah mendapatkan larangan atau aturan tertentu dari Datasemen Khusus 88 Anti-Teror. Bersama tim peliputan, Grace berhak memilah sendiri berita yang akan dipublikasikan. namun menurutnya, ada beberapa berita yang tidak disukai Densus 88.
"Mereka tidak suka pemberitaan yang terlalu detail," ujar Grace, Jumat, 8 Maret 2013. "Seperti berita soal proses penguntitan teroris, berapa lama, dan bagaimana caranya."
Informasi seputar penguntitan terduga teroris, Grace melanjutkan, biasanya mengalir dari obrolan antara anggota Densus 88 dengan wartawan. Bukan rilis resmi dari Kepolisian. Dan biasanya, anggota Densus itu hanya berniat bercerita saja. Bukan untuk konsumsi berita.
Kata Grace, seorang pimpinan Satuan Tugas Bom Markas besar Polri pernah berang dengan pemberitaan media massa. Berita itu memaparkan soal cara Densus 88 menguntit, hingga tak terduga teroris tak mencurigainya. "Informasi semacam ini dianggap tidak berguna bagi masyarakat," kata Grace. "Densus malah khawatir informasi itu akan dipelajari anggota teroris lain untuk kabur dari kejaran mereka."
Grace sendiri membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan kepercayaan dan memperoleh informasi dari anggota Densus 88. Perempuan 30 tahun ini memulai peliputan terorisnya di Poso, Sulawesi Tengah, pada 2007. Sejak itu, ia kerap mengikuti Densus 88 waktu meringkus terduga teroris. Seperti penangkapan Abu Dujana di Banyumas pada 2007; penggerebekan Temanggung dengan terduga teroris JW Marriott, Ibrahim; atau peringkusan Noordin M Top di Solo.
CORNILA DESYANA
Berita terpopuler lainnya:
Kontroversi Densus
Setelah 2014, SBY Mau Buka Warung Nasi Goreng
Rhoma Irama Tolak Permintaan Joss Stone
Mancini Isyaratkan Bakal Jual Dzeko
Laga Gresik vs Arema Ricuh, Tiga Orang Tewas