TEMPO.CO, Jakarta--Asosiasi Petani Kakao Indonesia (Apkai) mengeluhkan kurangnya dukungan dan kepedulian pemerintah terhadap komoditas kakao. Ketua Umum Apkai, Arif Zamroni mengatakan, hal itu terlihat dari stagnannya produktivitas tanaman kakao sejak tiga tahun terakhir.
“Pemerintah masih senang tanam saja dengan memberi bibit kepada petani, tapi perimbangan pada pemeliharaannya kurang,” kata Arif ketika dihubungi Tempo, Selasa 12 Maret 2013.
Menurut ia, yang dibutuhkan petani sebenarnya adalah pendampingan, pengetahuan cara pemeliharaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, juga prasarana dan sarana. Akibat kurangnya dukungan-dukungan tersebut, petani kakao menghadapi kendala meningkatkan kualitas produksi kakaonya.
Arif menambahkan banyak tanaman kakao petani yang terserang penyakit dan menurunkan kualitas. Padahal, saat ini beberapa negara pengimpor biji kakao mulai memperketat kualitas dan mutu produk yang masuk. Pengetatan kualitas dan mutu ini sebagai imbas dari tidak stabilnya harga kakao akibat kondisi ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat yang sedang terganggu.
“Secara internasional banyak pengetatan. Dan jujur, kualitas kakao milik kita masih perlu ditingkatkan terutama soal unsur-unsur yang tidak bisa diterima oleh pasar internasional.”
Dari seluruh total produksi kakao nasional, kata Arif, hanya 60 persen yang masuk dalam kualitas ekspor. Sisanya masih berkualitas rendah dan hanya bisa diterima oleh pasar tertentu atau dengan mencampur kakao kualitas baik dengan kualitas rendah.
Kualitas kakao skala ekspor, ia menambahkan harus memenuhi beberapa kriteria. Kriteria utama, kakao kualitas ekspor harus berbiji besar, atau dalam hitungan satu kilogram maksimal 100 biji kakao. Kriteria selanjutnya, kandungan jamur dan kotoran tidak boleh melebihi satu persen. Kemudian, kadar air yang terkandung dalam kakao harus berada di kisaran 6-8 persen.
“Untuk menghasilkan kualitas kakao yang seperti itu butuh penanganan khusus. Dalam hal ini pendampinga pemerintah masih kurang signifikan,” ucapnya.
ROSALINA