TEMPO.CO, Jakarta - Ainy Fauziah mengatakan, menanti buah hati yang tak kunjung tiba adalah kondisi yang tidak mengenakkan bagi setiap pasutri. Psikolog dan motivator ini mengaku pernah mengalami kondisi serupa.
“Perasaannya bercampur aduk, seperti permen. Ada rasa asin, manis, bahkan asam. Ada perasaan harap-harap cemas, yakin, takut, dan sebagainya,” kata dia.
Ainy mengatakan dia dan suaminya saat itu harus tahan mental menghadapi berbagai omongan, baik berupa canda maupun sindiran yang memerahkan telinga. “Kalau ingat rasanya, ingin marah ke setiap orang yang berkomentar soal ini,” ujar dia.
Berdasarkan pengalamannya, dia dan suaminya sempat cekcok. Setelah hampir empat tahun menikah, buah hati mereka tak kunjung tiba. Syukur, dengan sikap sabar, akhirnya mereka dikaruniai buah hati.
“Apabila pasutri tidak tahan mental atau kuat hati, mereka akan cekcok, salah paham, dan saling menyalahkan akibat terpancing omongan negatif orang lain,” kata Ainy.
Karena itu, dia mengingatkan, yang perlu dilakukan pasutri yang belum dapat momongan adalah tiga hal. Pertama, membangun komitmen antara kedua pihak, yaitu pasangan suami-istri, untuk sepakat menghadapi bersama kondisi sesulit apa pun.
“Tidak perlu saling menyalahkan, harus saling mendukung. Apa pun yang terjadi, hadapi bersama.”
Kedua adalah sepakat mencari solusi bersama demi sebuah tujuan, yaitu memiliki sang buah hati. Dalam hal ini, misalnya, mengecek kondisi kesehatan ke dokter untuk memastikan kondisi masing-masing.
Dengan mengetahui hasilnya, pasangan bisa memilih solusi yang beraneka ragam. Apabila ternyata secara kesehatan sudah tidak bisa lagi, mereka bisa menempuh jalan mengadopsi anak atau alternatif lain. “Yang penting harus dibicarakan bersama dan diketahui satu sama lain.”
Poin ketiga adalah menerima kondisi apa pun yang terjadi serta mensyukuri setiap kenikmatan yang didapat. “Banyak pasangan yang bisa berlapang dada. Ini cara sederhana, tapi menenangkan jiwa,” ujar Ainy, yang menyebutkan banyak pasangan yang tetap bahagia meski belum memiliki buah hati.
Misalnya, ada yang mengadopsi atau merawat dan mendidik para keponakan, bahkan mencintai hewan peliharaan. “Pokoknya pasutri harus bahagia bersama.”
Dia mengingatkan, apabila terjadi tekanan dari keluarga, hal yang mesti dilakukan pasutri adalah bersikap positif dan kompak. “Tidak perlu reaktif atau saling menyalahkan. Setidaknya, sikap kompak dan positif akan mampu melewati tahap sesulit apa pun,” ujarnya.
HADRIANI P