TEMPO.CO, Pati - Pasar batik bakaran beralih dari pasar lokal ke pasar turis. Menurut Bukhari, warga Desa Bakaran Kulon, Kecamatan Juwana, Pati, Jawa Tengah, batik bakaran kini mampu bersaing dengan batik Lasem, Solo, Yogyakarta, Pekalongan, dan Kudus. "Pesanan datang dari berbagai kota besar. Kami sampai kewalahan," kata dia, Jumat, 15 Maret 2013.
Selain itu, dia menambahkan, batik buatannya dipasarkan ke Amerika Serikat dan Kanada. "Untuk pasar luar negeri, lewat buyer," katanya.
Bukhori menciptakan puluhan motif batik bakaran dan banyak ditiru orang. Sebagai pewaris generasi kelima usaha batik Tjokro, Bukhori memiliki puluhan perajin, yang sebagian besar istri nelayan Juwana. Setiap bulan, dia memproduksi sekitar 500-600 potong batik tulis, dengan harga jual bervariasi, dari Rp 150 ribu hingga Rp 500 ribu per potong. "Omzet penjualan kami sekitar Rp 60 juta per bulan," katanya.
Sentra batik itu terletak di Desa Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon. Sebagian motifnya sudah dipatenkan, di antaranya beras kecer dan sidomukti. Motif itu khas masyarakat Bakaran. Pemerintah Pati lalu membantu mematenkan motif tersebut. "Yang membiayai hak paten adalah Pemkab," kata Ida Istiani, Kepala Seksi Jaringan Penelitian, Dinas Penelitian, dan Pengembangan Pati. Warna khas batik bakaran, terdiri dari warna hitam, sogan (cokelat muda), plus warna terang.
Agar tetap bereksistensi dan lestari, setiap Kamis dan Jumat pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Pati wajib mengenakan seragam batik tersebut. "Sekitar 90 persen PNS di Pati pakai batik tulis bakaran," kata Istiani. "Kami berupaya mengangkatnya, agar tidak hilang ditelan zaman," kata Istiani.
BANDELAN AMARUDIN