TEMPO.CO, Bangkok - Matahari tenggelam di seberang Sungai Chao Phraya Bangkok. Perut lapar. Saya pun menuju restoran Baan Khanitha. Restoran ini berada di ujung barat dan paling dekat dengan aliran sungai yang membelah Thailand ini. Saya melancong ke Thailand memenuhi undangan Mercure Bangkok Siam dan Ibis Bangkok Siam. Ini adalah dua hotel dalam satu bangunan di pusat ibu kota Negeri Gajah Putih ini.
Sehari sebelumnya saya menyantap som tam, semacam rujak sayur Thailand yang superpedas, kali ini saya menyasar tom yam kung yang sudah mendunia itu. Saya penasaran karena selama ini tak pernah makan tom yam kung di negeri asalnya. Beberapa mangkuk berbahan keramik ukuran jumbo berisi tom yam kung tersaji di meja buat kami bersepuluh. Pedasnya lebih berasa dibanding yang pernah saya santap sebelumnya. Melihat saya lahap menikmati makanan ini, Beau, kolega Thailand yang duduk di seberang saya, menciduk beberapa irus buat dia bagikan di piring saya.
Aneka gorengan menemani. Tak lupa kami memesan masakan khas Thailand lainnya, kari hijau. Semula agak penasaran karena terhidang dengan kuah kuning kental bersantan. Ternyata santapan ini mirip sayur lodeh terong plus pokak atau takokak utuh. Beau tak begitu kaget ketika saya bilang bahwa kari hijau senapas dengan sayur lodeh. “Saya kira masakan Asia Tenggara ada banyak kemiripan,” kata perempuan yang pernah melancong ke Bali ini, Rabu 6 Maret 2013.
Setelah menutup makan malam dengan seruputan jus jambu hijau, saya melanjutkan menikmati Asiatique. Saya berkeliling dari gerai ke gerai. Ya, aneka barang yang dijual di sana mirip barang-barang yang dijual di kawasan Legian dan Kuta, Bali. Tak jarang, saya mendengar di antara pembeli ada yang bercakap menggunakan bahasa Indonesia logat Jakarta. Sekumpulan ibu, di sebuah gerai sandang, saling bicara. Mereka sedang mengkonversi harga dari baht ke rupiah dengan berbahasa Jawa.
Taman Juliette dan air mancur di tengah kawasan Asiatique jadi tempat favorit untuk berfoto dan sekadar melepas penat setelah berkeliling-keliling. Dari situ, saya bisa menatap bangunan berukuran lebih besar dibanding bangunan yang lain di kompleks itu. Tulisan Clypso Bangkok berpendar ungu kebiruan dari panel lampu neon yang terpasang di atapnya. Ini sebuah tempat pertunjukan kabaret para pria cantik Thailand. Mereka memainkan pertunjukan wayang orang tradisional Thailand.
Oh ya, di sini juga ada komidi putar raksasa. Ketika keranjang komidi sedang berada di puncak putaran, tampaklah di mata seluruh kawasan Asiatique di tepian Chao Phraya. Penat menggoda tubuh. Chao Phraya, urat nadi Thailand, baru bisa saya nikmati sepenggalnya. Keesokan harinya, penerbangan ke Jakarta telah menunggu.
SUNUDYANTORO (BANGKOK)