TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia menempati posisi paling buncit dalam policy potential index, kajian mengenai kebijakan pertambangan yang dilakukan Fraser Institute. Indonesia menempati urutan ke 96 dari 96 negara dalam daftar negara yang kebijakan pertambangannya menarik investor. Ini berarti, kebijakan pertambangan di Indonesia dianggap paling tidak menarik untuk investor.
Wakil Ketua Indonesia Mining Association (IMA), Tony Wenas mengatakan peringkat Indonesia terus turun dari tahun ke tahun dalam kajian Fraser Institute ini. Pada 2011, Indonesia menempati urutan ke 85 dari 93 yurisdiksi pertambangan yang disurvey Fraser Institute.
Tony mengakui faktor utama yang membuat sektor pertambangan di Indonesia semakin tidak menarik bagi investor adalah soal ketidakpastian hukum. "Faktor utamanya adalah ketidakpastian hukum, yaitu regulasi yang cepat berubah, tumpang tindih peraturan serta masalah lahan yang semakin sulit diselesaikan, antara lain masalah hutan lindung," kata Tony dalam pesan singkatnya kepada Tempo, Minggu, 17 Maret 2013.
Mengutip hasil survey Fraser, para responden menyatakan peringkat Indonesia merosot karena ketidakpastian dalam regulasi mengenai lingkungan dan ketidakpastian mengenai administrasi, pemaknaan dan penerapan peraturan yang ada.
"Tingkat korupsi dan ketidakpastian karena pelibatan pemangku kepentingan lokal dan perubahan peraturan lingkungan membuat Indonesia sebagai tempat investasi paling berisiko. Jumlah kisah-kisah mengerikan terus bertambah," kata seorang wakil direktur di sebuah perusahan eksplorasi, seperti dicatat dalam laporan Survei Fraser Institute atas Perusahan Pertambangan 2012-2013.
Perubahan aturan kepemilikan asing juga menjadi masalah yang dikhawatirkan oleh salah seorang petinggi perusahaan tambang yang sudah memasuki masa produksi. Selain itu kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di Indonesia yang akan diterapkan pada 2014 juga menjadi penyebab ketidakpuasan para investor tambang.
Dalam Laporan Fraser, pengusaha tambang tersebut mengeluhkan nasionalisasi sumber daya alam yang dinilai dilakukan tanpa konsultasi dengan industri. Misalnya dalam hal kewajiban hilirisasi di dalam negeri dan larangan ekspor barang mentah. "Meskipun 70 persen investasi datang dari modal asing, perubahan kebijakan baru-baru ini berujung marjinalisasi investor asing," kata pegusaha tersebut.
Sementara itu Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Thamrin Sihite mengakui bahwa proses perizinan tambang masih harus diperbaiki. Namun Thamrin tak setuju jika kebijakan kewajiban hilirisasi di dalam negeri disebut tak kondusif bagi investasi pertambangan.
Thamrin mengatakan Indonesia harus tetap mengacu kepada Undang-undang No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menetapkan mulai 2014 tidak ada lagi eskpor barang mentah.
"Kalau pelayanan perizinan, harus diakui memang masih kurang baik dan akan diperbaiki. Tetapi kalau karena Undang-Undang No 4 tahun 2009, kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri saya rasa tidak (mengganggu investasi)," kata Thamrin.
BERNADETTE CHRISTINA
Berita terpopuler lainnya:
Jangan Umbar Status dan Foto di Media Sosial
X Factor, Penampilan Fatin Menuai Perdebatan Juri
Setelah Hercules Tersingkir dari Tanah Abang
Si Conat, Preman Betawi Era VOC
Kericuhan Warnai Kongres Luar Biasa PSSI
Alumni Pemuda Pancasila Jadi Menteri dan Politikus
Bulgaria Tak Akan Berinisiatif Soal Hizbullah
Lulung: Saya Bukan Preman, Saya Profesional