TEMPO.CO.
Pengantar
Kabar tak sedap datang dari gerakan kepanduan. Lembaga yang harusnya berdiri di garis depan pembinaan generasi muda ini justru ditengarai menjadi lahan bisnis sebagian pengurusnya. Mulai dari penyewaan aset di Cibubur yang melangkahi persetujuan Presiden hingga penggunaan anggaran yang tak sesuai aturan. Tulisan ini adalah bagian kedua dari tiga tulisan.
**
Kepala Taman Rekreasi Wiladatika, Madiono, gusar mendengar petir yang sambar-menyambar. Sabtu pekan lalu, hujan lebat tengah mengguyur daerah Cibubur, Ciracas, Jakarta Timur. Ia takut, kilat menyambar pompa air yang baru dipasang di sana. “Kalau kena, bisa habis Rp 20 juta,” ujarnya.
Pengelola Wiladatika sangat memperhatikan pengeluarannya. Meski belum pernah merugi, pengelola yang ditunjuk oleh Kwartir Nasional Gerakan Pramuka itu tak pernah untung besar. Ia menuturkan, pendapatan dari belasan gedung yang tegak di atas lahan seluas 18,9 hektare tersebut hanya Rp 1,5 miliar per bulan.
“Setelah dikurangi pengeluaran rutin dan pajak, untung bersih hanya Rp 200 juta. Kami setor ke Kwarnas biasanya Rp 75 juta per bulan,” ujarnya. Laba dan setoran yang kecil membuat pengelola sulit berinvestasi. Madiono menduga, itulah sebabnya muncul ide untuk mengkomersialkan sebagian lahan Wiladatika kepada swasta.
Gonjang-ganjing komersialisasi lahan milik Pramuka santer beredar sejak 2006. Ketua Kwartir Nasional Azrul Azwar kala itu membuat perjanjian kerja sama build-operate-transfer dengan PT Prima Tangkas Olahdaya untuk mengembangkan lahan Bumi Perkemahan Cibubur seluas 210 hektare.
Namun, perjanjian itu ditolak oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka. Pada akhir 2011, Azrul muncul dengan ide baru: komersialisasi Wiladatika. Kwartir bahkan sudah meneken perjanjian kerja sama dengan PT Purnama Alam Sari yang terafiliasi dengan Agung Podomoro.
Dalam perjanjian 15 Desember 2011 itu, Purnama ditunjuk sebagai pengelola Wiladatika dengan membangun sarana rekreasi, perbelanjaan, gedung serbaguna, hotel, dan perkantoran selama 30 tahun. Imbalannya, Kwartir mendapat dana Rp 510 miliar. Selain itu, Purnama diminta membangun gedung pusat pendidikan Pramuka serta 10 unit rumah dinas bagi karyawan Kwartir.
Tak semua pengurus Kwartir sepakat dengan rencana tersebut. Selain karena nilainya yang dianggap tidak menguntungkan, perjanjian itu melangkahi Presiden serta Menteri Pemuda dan Olahraga. Sebagian lagi khawatir, lama-kelamaan swasta akan mengklaim kepemilikan atas lahan Wiladatika.
Sumber Tempo mengatakan, laporan kepada Presiden soal rencana komersialisasi Wiladatika baru disampaikan pada akhir Maret 2012, setelah perjanjian diteken. Ia menuding Kwartir berkeras bekerja sama dengan Purnama lantaran telah menerima dana dari Prima Tangkas sewaktu mengurus kerja sama pengelolaan Cibubur. Dikabarkan, Purnama masih terkait kepemilikan dengan Prima Tangkas. “Nilainya miliaran, “ katanya.
Azrul mengakui pernah menerima sumbangan dana operasional tak mengikat dari Prima Tangkas. “Waktu itu keuangan kami sedang kelabakan,” katanya. Tapi, ia membantah nilainya mencapai miliaran rupiah. Direktur Purnama, Handaka Santosa, membantah anak usaha Agung Podomoro Group itu terkait dengan Prima Tangkas. Apalagi sampai menyerahkan uang pelicin.
Deputi Kementerian Kesejahteraan Rakyat, Sugihartatmo, mengatakan, pemerintah sudah membentuk tim pengkaji untuk membahas pengelolaan aset Pramuka. “Hasil kajian sudah diserahkan kepada Presiden dua pekan lalu,” kata dia. Intinya, usul kerja sama antara Kwartir dan Purnama ditolak. Tim bahkan sama sekali tak membahas proposal Kwartir.
Rencana komersialisasi Wiladatika kini sepenuhnya bergantung pada Presiden. Ada dua opsi yang diserahkan tim pengkaji kepada SBY. Pertama, pemerintah membangun sendiri Wiladatika. Kedua, melibatkan pihak swasta. “Saya tak bisa menjawab kapan Presiden akan memutuskan,” kata Sugi.
ANANDA BADUDU | SUBKHAN | EFRI RITONGA