TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak uji materi atas Undang-Undang No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dan Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI). Dengan keputusan ini, MK juga menolak permohonan pembubaran Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
"Permohonan para pemohon mengenai konstitusionalitas tidak dapat diterima dan menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Kamis, 28 Maret 2013.
Dalam gugatan, penggugat menyatakan keberadaan BPH Migas menimbulkan ketidakpastian hukum karena menyebabkan ketidakpastian penanggung jawab dalam persoalan-persoalan di sisi hilir. Persoalan hilir yang dimaksud antara lain kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), kuota BBM terlampaui, dan pengaturan pasar BBM.
Penggugat menyatakan saat terjadi gangguan di sisi hilir migas, BPH Migas, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Pertamina saling melempar tanggung jawab. Penggugat juga menyatakan terjadi tarik-menarik antara BPH Migas dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas, sekarang Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi/SKK Migas) dalam pengembangan gas melalui pipa. Namun dalil ini ditolak oleh hakim konstitusi.
"Tugas dan fungsi BPH Migas dengan jelas dijabarkan dalam UU Migas serta peraturan perundang-undangan di bawahnya. Dari pengaturan-pengaturan tersebut tidak terdapat tumpang-tindih fungsi dan kewenangan antara BPH Migas dan BP Migas atau badan lain yang dibentuk oleh pemerintah, sehingga dalil pemohon bahwa keberadaan BPH Migas menimbulkan ketidakpastian hukum tidak beralasan," kata Mahfud.
BERNADETTE CHRISTINA