TEMPO.CO, Langsa - "Kajeutlah bendera kana dile, tinggai ta uruh moneter teuk (Ya sudah lah bendera yang sudah ada dulu, tinggal kita urus moneter dikit lagi)," ujar Muklis, 40 tahun, warga pedalaman Langsa.
Muklis, termasuk simpatisan Partai Aceh, pasca disahkannya Qanun Bendera dan Lambang oleh DPR Aceh 22 Maret 2013. Ia meyakini sebuah terobosan perjuangan yang diagungkan semasa konflik atau perjuangan politik yang pernah diagungkan setelah perdamaian tentang perjuangan politik sudah nyata terjadi.
Baca Juga:
Di Kecamatan Sawang Aceh Utara, beberapa masyarakat yang sempat ditemui Tempo juga merasakan keyakinan seperti halnya Muklis, meski mereka menyadari bahwa status Aceh masih berada dalam Republik Indonesia.
Di kalangan Komite Peralihan Aceh (KPA), warga-warga desa memahami dengan pengesahan Qanun Wali Nanggroe itu, maka semua peraturan lain akan terikuti dengan sendirinya. Salah satu buktinya adalah, Qanun Bendera dan Lambang Aceh telah disahkan.
"Ibarat sebuah rumah, kan tidak mungkin dibangun sekalian, satu persatu dulu,"Ujar beberapa warga yang menolak disebutkan namanya.
Di Aceh Timur beberapa warung yang menjadi tempat berkumpulnya mantan combatan dan simpatisan Partai Aceh terdengar obrolan hampir senada. Mereka berpendapat, bendera menjadi amat penting bagi Aceh. Dengan adanya bendera, Aceh akan menjadi sebuah 'Negara'.
IMRAN MA