TEMPO.CO, Jakarta - Defisit perdagangan Indonesia akibat merosotnya kinerja ekspor, yang diikuti meningkatnya permintaan impor, menjadi ganjalan bagi penguatan rupiah. Dari faktor global, kekhawatiran Amerika Serikat bakal memotong anggaran belanja serta mencuatnya kembali kecemasan di zona Eropa membuat rupiah tertahan di atas level 9.700 per dolar.
Akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah ditutup pada level 9.719 per dolar AS, yang berarti sepanjang Maret lalu terdepresiasi 54 poin (0,56 persen) dari posisi akhir Februari pada 9.665. Demikian pula sepanjang triwulan pertama tahun ini, rupiah juga melemah 82 poin (0,85 persen) dari posisi akhir tahun lalu di 9.663 per dolar.
Pengamat pasar uang dari Bank Saudara, Rully Nova, mengatakan, memasuki triwulan kedua 2013, defisit neraca berjalan akan cenderung membaik dan inflasi akan terkendali, sehingga rupiah masih berpeluang menguat kembali ke 9.600 per dolar AS. “Apalagi perekonomian Amerika dan Cina yang mulai terlihat tumbuh dapat mempercepat pemulihan global,” ujarnya.
Namun, bagi rupiah, untuk menuju level 9.500 per dolar AS masih cukup berat di tengah superior dolar terhadap mata uang utama dunia. Dalam triwulan kedua 2013, rupiah diprediksi ditransaksikan pada rentang 9.600-9.800 per dolar AS.
Jatuhnya hasil ekspor karena melambatnya permintaan dan turunnya harga komoditas serta ancaman tingginya inflasi, dampak dari kenaikan harga barang, masih menjadi perhatian pelaku pasar. Optimisme terhadap Agus Martowardojo dalam memimpin Bank Indonesia diharapkan dapat menjaga pergerakan rupiah.
Bank sentral Amerika (The Fed) yang masih mempertahankan kebijakan moneter yang longgar membuat likuiditas di pasar global akan tetap berlimpah, yang pada akhirnya juga akan masuk ke pasar finansial domestik. “Aliran dana asing inilah yang masih akan mendukung apresiasi rupiah di tengah tekanan inflasi serta turunnya kinerja ekspor,” kata Rully.
PDAT | VIVA B. K