TEMPO.CO, Jakarta - Pergerakan rupiah pekan ini masih menunggu penetapan suku bunga acuan BI Rate serta pandangan Bank Indonesia (BI) atas prospek ekonomi domestik.
Head of Treasury Research Bank BNI, Nurul Eti Nurbaeti, mengatakan, tekanan yang dihadapi rupiah masih tinggi, baik dari eksternal maupun dari dalam negeri. Bila tidak ada sentimen positif, rupiah masih berpotensi terus melemah. “Rupiah tidak akan banyak beranjak dari kisaran 9.710 hingga 9.770.”
Pekan ini, pasar masih menunggu beberapa agenda penting dalam negeri, khususnya penetapan suku bunga acuan BI pada 11 April mendatang dan lelang obligasi Surat Utang Negara (SUN) dengan target indikatif Rp 7 triliun, besok. Potensi penguatan rupiah bergantung pada respons pasar dalam menyikapi dua peristiwa tersebut.
Menurut Nurul, tingginya inflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir memicu spekulasi BI akan menaikkan suku bunga acuan dari level sekarang, 5,75 persen. “Namun tampaknya bank sentral masih mengambil sikap hati-hati karena BI menganggap pelemahan rupiah bersifat sementara dan belum melenceng dari target.”
Adapun lelang obligasi pemerintah juga bisa berdampak positif bagi rupiah. Terutama untuk menetralisasi tingginya permintaan dolar di pasar uang akibat impor yang lebih tinggi dibanding ekspor.
Biasanya, lelang SUN sangat diminati dan selalu melampaui target indikatif yang ditetapkan. Investor, khususnya asing, memburu obligasi pemerintah karena menjanjikan imbal hasil tinggi. “Apalagi dari sisi likuiditasnya lebih cair dibanding lelang sukuk pekan lalu,” ujar Nurul.
Akhir pekan lalu, rupiah ditutup pada level 9.750 per dolar atau melemah 31 poin (0,32 persen) dibanding penutupan Jumat pekan sebelumnya pada 9.619 per dolar.
Menguatnya posisi dolar seiring dengan melemahnya data manufaktur dan ketenagakerjaan Amerika Serikat membuat apresiasi rupiah terhambat sepanjang pekan lalu. Di sisi lain, data inflasi dan defisitnya neraca perdagangan Indonesia semakin mempersulit kebangkitan rupiah.
PDAT | M. AZHAR