TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Masyarakat Leuser menolak Qanun Wali Nanggroe dan Qanun Bendera dan lambang Aceh. Mereka beralasan bendera dan lambang tersebut adalah milik Gerakan Aceh Merdeka, bekas kelompok separatis. Menurutnya, jumlah pendukung GAM hanya tiga persen dari total penduduk Aceh. "Qanun itu hanya untuk kepentingan sekelompok orang di Pemerintahan Aceh, bukan untuk Rakyat Aceh," ujar Aramiko kordinator Lapangan Aliansi Masyarakat Leuser Antara, ketika dihubungi, Sabtu 13 April 2013.
Dia menambahkan Gubernur Aceh dan DPR Aceh telah berkhianat terhadap Perdamaian dan juga berkhianat terhadap Rakyat Aceh, karena berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah Aceh untuk mengumpulkan pundit-pundi kelompok. "Tindakan itu telah membungkam demokrasi bersifat Otoriter untuk kepentingan kelompok mereka," katanya.
Masyarakat Aceh baik didataran tinggi Gayo maupun di pesisir, kata dia, telah menelaah Qanun tersebut dan menyebutnya produk Qanun yang aneh bin ajaib, terutama tentang Qanun Wali Nanggroe. Dimana saat ini, ia melanjutkan masyarakat Aceh yang umumnya menganut agama Islam, dan pada semua jenjang sudah berlaku tes baca Al Quran. "Justru untuk Qanun Wali Nanggroe Produk DPR Aceh, itu di abaikan. ? Ini patut di pertanyakan?" ujarnya.
Selain itu ada sejumlah isi Qanun juga membunuh keberagaman suku di Aceh secara regulasi, dan isi qanun pun berintikan bakal terjadi dualisme pemerintahan di Aceh. Begitu juga untuk Qanun bendera juga terjadi hal yang sama, dimana bendera yang telah menimbulkan luka dan air mata, dan dilarang penggunaannya dalam MoU Helsinki serta bertentangan dengan aturan yang berlaku di Indonesia. "Ini sengaja di lakukan DPR Aceh, untuk kekuasaan kelompok dan mengelabui rakyat Aceh," tambah Miko.
IMRAN MA