TEMPO.CO, Jakarta - Desainer Thomas Sigar, 61 tahun, mengkoleksi kain warisan kebaya renda dan sarung batik Pekalongan milik tokoh pergerakan Minahasa, Maria Walanda Maramis. Ini adalah salah satu upaya melestarikan kain kain bersejarah.
Kain warisan itu berupa kebaya renda berwarna putih berbahan dasar katun, sarung batik berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah bermotif padi-padian dengan warna hijau muda, dan sarung Buketan latar Gringsing berukuran 196 cm x 107 cm dengan motif kain bebek dan padi-padian.
Koleksi ini dipamerkan di Museum Nasional dalam tema Puspa Pesona Wastra Tokoh Perempuan Indonesia, belum lama ini, di Museum Nasional, Jakarta.
Thomas mengaku merupakan keluarga Maria Josephine Catherine Maramis yang bertanggung jawab untuk merawat warisan kain almarhumah yang wafat pada 1924 ini.
Selain kain dari pejuang wanita Walanda Maramis, hadir pula koleksi kain Cut Nyak Dien (pahlawan nasional), Raden Dewi Sartika (tokoh pergerakan wanita), RA Kartini (tokoh pergerakan wanita), Rohana Kudus (wartawati pertama di Sumatera), Laili Roesad (duta besar pertama perempuan), Siti Bambang Utoyo (Laskar Wanita), Herawati Dian (jurnalis pertama di Indonesia dan pendiri Wastraprema), Lasmidjah Hardi (pendiri Wastraprema), dan Johana Nasution (penggerak bidang sosial BKKS).
“Para pahlawan perempuan ini menyukai dan memakai kain adat daerah masing-masing di masa perjuangannya,” kata Thomas. Walanda Maramis, menurut Thomas, mengadaptasi gaya busana Indo-Belanda dengan memakai kebaya renda dan kain batik pesisir Pekalongan, Lasem, Kudus, dan Cirebon.
Ini ada hubungannya dengan sejarah kristenisasi para kepala suku di wilayah Minahasa sehingga mengikuti gaya hidup Barat. Saat itu, Eliza Van Zuylen, pembatik keturunan Indo-Eropa (Belanda) yang menetap di Pekalongan sekitar tahun 1840-1947, mengembangkan kain batik. Kain batik mulai masuk ke Minahasa, menggeser keberadaan kain tenun ikat dari budaya animisme dan dinamisme.
Sejalan dengan tumbuhnya kristenisasi, kain-kain yang menampilkan motif keberhalaan jarang dipakai dan punah sejak 200 tahun lalu. “Kain batik motif bunga dan buketan dipakai para perempuan Minahasa. Kebanyakan model sarung dan disebut kain kepala,” Thomas menjelaskan.
Sejak tahun 1980-an Thomas mulai mencari keberadaan kain-kain bersejarah milik Walanda dari beberapa kerabat dan keluarga. Selain membuat desain busana, Thomas lewat nama TS Antique mengumpulkan kain-kain kuno dan mereplika motif-motif lama.
Selama enam tahun, bersama Benny J. Mamoto dari Institut Seni Budaya Sulawesi Utara (ISBSU), Thomas mengupayakan kebangkitan tenun Minahasa lewat riset dan penelitian.
Pada 2009, ISBSU memperkenalkan kain tenun bermotif pinawetengan, pinatembega, dan pinabia lewat pergelaran karya Thomas Sigar "Lost Treasure of Minahasa".
Pada 2011, Thomas mengangkat kembali kain tenun Minahasa. Thomas mempersembahkan kain tenun sutera motif patola dan patola cetak tangan di atas sifon dan sutera yang bernapaskan etnik modern.
Thomas berharap motif kuno kain-kain bisa dihadirkan kembali sebagai sebuah identitas suku Minahasa.
EVIETA FADJAR