TEMPO.CO, Jakarta - Tersangka dalam skandal pencurian pulsa tak lama lagi akan diadili di meja hijau. Setelah dua tahun disidik, Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, awal Maret 2013, memastikan kasusnya sudah dinyatakan lengkap oleh jaksa dan siap dilimpahkan ke pengadilan.
Komisaris Jenderal Sutarman, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, menegaskan bahwa para tersangka akan dijerat dengan pasal berlapis dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Ancaman hukumannya bisa di atas lima tahun penjara.
Meski sudah tegas ada hak konsumen yang dilanggar, Nonot Harsono, salah seorang anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), menilai apa yang terjadi ini bukanlah pencurian pulsa. “Lebih tepat disebut sengketa pemotongan pulsa yang dianggap merugikan konsumen,” katanya ketika dihubungi 4 April 2013.
Dari pengaduan yang diterima lembaganya, Nonot menerangkan, keluhan masyarakat itu terdiri dari dua hal. Pertama, masyarakat merasa tidak mendaftar ke content provider, namun selalu menerima konten dan pulsa teleponnya dipotong. Kasus kedua, masyarakat ingin berhenti berlangganan content, tetapi tidak bisa sehingga pulsanya tersedot terus. "Untuk hal ini, para operator harus memeriksa ulang sistemnya sudah benar atau tidak supaya publik tidak dirugikan," kata Nonot.
Di puncak maraknya keluhan jutaan pengguna telepon seluler, BRTI mengeluarkan Surat Edaran Nomor 177/BRTI/X/2011 mengenai pembekuan operasional atau deaktivasi seluruh sistem layanan langganan content provider. Surat itu memerintahkan seluruh operator telepon seluler agar melakukan registrasi ulang terhadap para pelanggan telepon seluler.
Bagi perusahaan content provider, momen munculnya surat itu dikenang sebagai “Black October”. Akibat surat itu, ratusan perusahaan content provider gulung tikar, tutup. Bisnis bernilai miliaran rupiah hangus seketika. “Ketika itu, kami menganggap BRTI membakar lumbung untuk mencari seekor tikus,” kata seorang eksekutif perusahaan content provider kepada Tempo.
“Kami waktu itu memang dituduh membunuh industri penyedia konten,” kata Nonot mengenang. Akibat surat itu, BRTI diadukan ke ombudsman dan digugat ke pengadilan. Tapi mereka bergeming.
"Kami membuat surat itu agar ada registrasi ulang untuk semua pelanggan. Operator harus menyampaikan penawaran kembali kepada mereka: apakah mereka bersedia berlangganan atau tidak," Nonot menjelaskan motif di balik surat “Black October” atau "Oktober Hitam" tersebut.
CHOIRUL AMINUDDIN
Berita Terpopuler:
Dikuntit Intel, Anas Urbaningrum Punya Cerita
Mega: Saya Memang Sudah Sepuh, tapi....
Venna Melinda Blak-blakan Soal Perceraiannya
@SBYudhoyono 'Digoda' Bintang Porno
Lion Air Mendarat di Laut Bali, Dewi Terlempar