TEMPO.CO - Penelitian dalam Journal of American Medical Association menemukan, meski kolik atau kram usus selalu dianggap sebagai penyakit pencernaan, penelitian baru menemukan bahwa kolik dapat menyebabkan migrain.
Dalam penelitian disebutkan, anak-anak yang saat bayi sering mengalami kolik memiliki kemungkinan migrain tujuh kali lebih tinggi daripada yang tidak. "Hal ini sudah diketahui bahwa migrain dapat ditunjukkan dengan rasa sakit usus pada anak-anak," kata dokter Luigi Titomanlio, Kepala Pediatrik dan Klinik Penyakit Neurovaskular di Rumah Sakit Robert Debre Paris, Prancis. Titomalino menyebut kolik sebagai migrain perut.
Semakin bertambahnya usia, anak yang mengalami kolik akan semakin sering terserang migrain secara berkala. Begitu pula ketika remaja, intensitas terjadinya migrain akan semakin sering. Menurut US National Library of Medicine, kolik dialami satu dari lima bayi.
Bayi dengan kolik menangis selama lebih dari tiga jam sehari, biasanya pada waktu yang sama setiap hari, dan dalam waktu setidaknya tiga hari seminggu. Hingga saat ini, penyebab pasti kolik bayi tidak diketahui, tetapi biasanya akan membaik pada usia 12 minggu.
Ketika bayi kolik menangis, perut mereka sering bengkak dan bayi akan mengangkat kaki mereka sampai ke perut. Gejala ini berasal dari saluran pencernaan. Meski begitu, pengobatan yang digunakan untuk mengurangi gejala sering tidak efektif untuk membuat bayi dengan kolik menjadi tenang.
Sedangkan tipe lain dari sakit kepala pada anak-anak adalah sakit kepala yang disebabkan oleh ketegangan otot. Anak-anak yang memiliki sakit kepala dengan gejala ketegangan otot diyakini akan mengalami peningkatan sensitivitas terhadap nyeri ketika mengalami kolik.
Penelitian ini melibatkan lebih dari 200 anak-anak berusia 6 sampai 18 tahun. Mereka terdiagnosis memiliki migrain. Dalam penelitian ini juga diteliti 120 anak-anak yang memiliki sakit kepala dengan jenis ketegangan otot, dan 471 anak-anak yang dirawat karena trauma ringan.
Para peneliti menemukan bahwa hampir 73 persen anak-anak yang memiliki migrain mengalami kolik saat bayi. Hanya 26,5 persen dari mereka yang tidak memiliki migrain, meskipun saat bayi mengalami kolik. Meski begitu, jumlah anak yang saat bayi mengalami kolik dan migrain tidak memiliki gangguan saraf visual (penglihatan) atau gangguan saraf lainnya.
Meski penelitian ini sudah memaparkan data yang cukup jelas, menurut Titomalino, tetap diperlukan penelitian lebih lanjut. Apalagi penelitian ini tidak dapat menggambarkan secara jelas antara kolik dan migrain. "Tetapi, bisa jadi terminal saraf di otak dan usus terlalu peka, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang bersamaan di kepala atau usus," kata Titomalino.
Dr Phyllis Zee, profesor neurologi dan direktur pusat gangguan tidur di Feinberg School of Medicine di Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat, mengatakan, penelitian ini adalah studi terbesar sampai saat ini yang dapat menunjukkan hubungan kuat antara kolik pada bayi dan migrain anak.
Zee menambahkan, studi ini hanya menemukan hubungan, dan tidak dapat membuktikan bahwa satu gangguan menyebabkan gangguan lainnya. Penelitian sebelumnya memaparkan bahwa penyebab migrain pada anak karena adanya gangguan siklus tidur-bangun.
"Tidur dan gangguan ritme sirkadian mungkin menjadi pemicu terkemuka pada kolik dan migrain," kata Zee. "Jika melatonin atau gangguan siklus tidur-bangun menjadi penyebab kolik dan migrain, setidaknya orang tua dapat mengambil langkah untuk mencegah gangguan ini tanpa obat," ia menambahkan.
HEALTH DAY NEWS | CHETA NILAWATY
Topik Terhangat:
Lion Air Jatuh | Serangan Penjara Sleman| Harta Djoko Susilo | Nasib Anas
Baca juga:
EDISI KHUSUS Tipu-Tipu Jagad Maya
Bom Boston, Ini Kesaksian Jurnalis Boston.com
Bom Boston Sebenarnya Ada 7, Meledak 2
Wawancara dengan Ustad Berpengaruh di New York