TEMPO.CO, MAGELANG -- Wakil Wali Kota Magelang, Joko Prasetyo, terdakwa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terhadap istrinya, Siti Rubaidah, divonis 1 bulan penjara 15 hari oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Magelang pada Selasa, 30 April 2013. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut 2 bulan penjara.
Dalam persidangan yang dipimpin H Yulman sebagai hakim ketua dan Khusnul Khotimah serta Ratriningtias sebagai hakim anggota, Joko dinyatakan bersalah dalam perkara No.29/Pid.Sus/2013/PN.MGL.
Joko terbukti bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan subsider, yakni Pasal 44 Ayat (4) UU 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dakwaan subsider ini dikenakan karena, setelah kejadian pemukulan itu, korban masih bisa beraktivitas atau tidak opname.
Atas pelanggaran pasal tersebut, Joko diancam 4 bulan penjara atau denda Rp 5.000.000. Namun, JPU hanya menuntutnya 2 bulan penjara.
"Keputusan ini merupakan keputusan majelis hakim setelah mempertimbangkan fakta persidangan," kata Yulman.
Atas keputusan ini, Yulman memberikan waktu tujuh hari untuk berpikir atas putusan tersebut.
Seusai persidangan, Joko Prasetyo menyatakan menghormati keputusan majelis hakim. Soal vonis, Joko mengatakan akan mengkonsultasikan kepada tim kuasa hukumnya untuk menentukan langkah selanjutnya.
"Kami masih pikir-pikir, setidaknya dua sampai tiga hari semua akan jelas," ujarnya.
Joko pun menambahkan dia masih akan tetap bekerja sesuai dengan kewajibannya meski vonis diberikan. Keputusan ini, katanya, tidak akan menurunkan jabatannya sebagai wakil wali kota seperti tertuang dalam undang-undang.
M Zazin, tim kuasa hukum Joko, menambahkan keputusan majelis hakim dinilai memberatkan. Sebab, perbuatan KDRT yang dilakukannya tidak membuat korban luka berat. Selain itu, terdakwa juga telah menyesali perbuatannya.
"Kemungkinan akan mengajukan banding,"katanya.
Direktur Legal Resort Center untuk Keadilan Gender dan HAM Semarang sekaligus Koordinator Koalisi Jaringan Masyarakat Anti-Pejabat Publik Pelaku KDRT, Fahrul Rozi, menyatakan vonis yang diberikan kepada Joko sangat ringan dan mengada-ada. Ia menduga adanya proses hukum yang tidak independen.
Fahrul menyatakan vonis tidak sebanding dengan perbuatan Joko yang juga menyandang pejabat publik. Perbuatan Joko memberikan dampak psikologis, fisik, serta sosial pada korban.
Fahrul mengatakan seharusnya majelis bisa memberikan vonis yang progresif melebihi tuntutan JPU. "Paling tidak ancaman hukumannya bersifat maksimal,"katanya.
Lebih lagi, lanjutnya, Joko adalah pejabat publik yang seharusnya memberikan contoh yang baik untuk warganya, termasuk larangan KDRT. Bahkan kewajiban ini juga tertuang dalam Peraturan Mendagri yang menyatakan salah satu tugas wakil wali kota adalah pemberdayaan perempuan.
Dirinya menilai vonis pada Joko adalah bukti kegagalan penegak hukum dalam menegakkan keadilan serta memulihkan hak korban KDRT pada pelanggaran HAM.
Ia menegaskan rendahnya vonis ini akan berdampak pada beberapa hal, di antaranya menambah daftar panjang para pelaku KDRT, membiasakan masyarakat melakukan KDRT karena melihat pejabat publiknya, serta mempersulit upaya pemerintah terhadap penghapusan KDRT.
"Jika Joko mengajukan banding, kami berharap Majelis Pengadilan Tinggi akan memberikan keadilan atas kasus ini,"katanya.
Siti Rubaidah, istri Joko, tidak berkomentar atas vonis ini. "Silakan bertanya pada kuasa hukum saya," ucapnya.
Dalam sidang vonis tersebut, ratusan pendukung Joko yang terdiri atas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan masyarakat turut hadir.
Kepala Sekretaris Daerah Kota Magelang, Sugiharto, mengatakan puluhan SKPD memang menghadiri sidang atas instruksi lisan dari Wali Kota.
"Wali Kota tidak bisa datang karena ada tugas dinas. Kami datang untuk memberikan dukungan moril kepada Wawali (Wakil Wali Kota),"katanya.
Soal jabatan Joko, Sugiharto mengatakan merupakan kewenangan Gubernur Jawa Tengah. "Sampai saat ini, Wawali masih menjalankan tugas dan kewajibannya seperti biasa," tuturnya.
OLIVIA LEWI PRAMESTI