TEMPO.CO, Jakarta - Kemiskinan bukan sekadar perkara kepemilikan modal. Lebih jauh dari itu, yaitu ketiadaan akses masyarakat terhadap sistem keuangan yang membuat mereka menjadi kaum papa. "Melalui program Branchless Banking, Bank Indonesia memberikan fasilitas intermediasi dan distribusi untuk pelaksanaan program keuangan inklusif," kata peneliti eksekutif Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, Agusman, saat diskusi di Hotel Bidakara pada Senin, 29 April 2013.
Agusman menuturkan bahwa sistem branchless (tanpa kantor cabang) ini memungkinkan sistem pembayaran dan keuangan terbatas akan dilakukan dengan sarana teknologi. Jadi masyarakat yang tak terbiasa dengan sistem keuangan formal tetap bisa menabung meski tidak di bank. "Apalagi sekarang kebanyakan masyarakat memiliki handphone, ini memudahkan," ucapnya.
Ketua Koperasi Mitra Dhuafa, Slamet Riyadi, juga sepakat dengan konsep keuangan inklusif untuk memberdayakan masyarakat miskin. Namun, ia tidak setuju dengan skema yang dipaparkan Agusman. "Hanya sedikit masyarakat miskin, khususnya kaum ibu, yang bisa memanfaatkan teknologi," ucap Slamet.
Ia pun memilih untuk melakukan tatap muka dan diskusi agar masyarakat sadar akan proteksi terhadap dirinya sendiri. "Transaksi di koperasi kami juga tidak memakai agunan."
Dalam survei neraca rumah tangga Bank Indonesia (2011), hanya sekitar 48 persen rumah tangga yang memiliki tabungan di bank, lembaga keuangan non-bank, dan non-lembaga keuangan. Sisanya adalah warga yang seharusnya bisa diakomodasi kepentingan finansialnya melalui keuangan inklusif. Keuangan inklusif ini penting bagi kaum papa agar akses akan manajemen risiko (pensiun dan asuransi) menjadi tinggi.
MUHAMMAD MUHYIDDIN
Topik terhangat:
Gaya Sosialita | Susno Duadji | Ustad Jefry | Caleg | Ujian Nasional
Baca juga:
Susno Buron, Kejaksaan Tak Perlu Uber
Inilah Dinasti Politik Partai Demokrat
Gara-gara 'Nasi Kucing', Anas Batal ke KPK
Ical: Kasus Lapindo Efeknya Lebih Kecil dari ISL
Orang Miskin Dilarang 'Nyaleg'