TEMPO.CO, Semarang - Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia Suryo Bambang Sulisto mengusulkan agar pemerintah menghilangkan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Dia berpendapat kebijakan perbedaan harga BBM antara yang subsidi dan non-subsidi justru menimbulkan beragam persoalan serta cenderung memboroskan anggaran negara.
"Kalau harga ditetapkan sesuai dengan harga dunia, tak ada lagi kelangkaan, penimbunan, dan penyelundupan, tapi ada penghematan bagi negara Rp 300 triliun dari nilai subsidi," ujar Suryo Bambang Sulisto, seusai rapat koordinasi Kamar Dagang Indonesia di Semarang, Selasa, 30 April 2013.
Menurut dia, kekhawatiran pemerintah mengenai beban rakyat atas kenaikan harga bahan bakar tanpa susbsidi bisa diselesaikan dengan uang Rp 300 triliun. "Habis itu, permasalahan yang parah sudah selesai."
Usul yang dia sampaikan itu sebagai solusi agar bahan bakar minyak yang selama ini selalu jadi persoalan tidak lagi menjadi bahan kepentingan politik, penyimpangan, dan korupsi. Ia membandingkan dengan sejumlah negara yang lebih miskin dari Indonesia, seperti Filipina dan Vietnam. Dua negara itu kini telah menghentikan subsidi bahan bakar minyak, tapi tetap mensejahterakan rakyatnya.
"Artinya penghematan yang diakibatkan 300 triliun tiap tahun bisa untuk membangun infrastruktur dan program lain," Suryo menjelaskan.
Kadin punya konsep, subsidi BBM itu dibagikan ke setiap provinsi, masing-masing sebesar Rp 5 triliun. Dari nilai uang itu, 50 persen di antaranya bisa digunakan untuk infrastruktur. Sisanya, untuk dana pendidikan, kesehatan, usaha kecil, mikro, dan menengah, serta bank daerah. Suryo mengaku sudah menyampaikan usulan tersebut kepada pemerintah, tapi tak ada respons. Padahal, ia menilai permasalahan BBM mesti segera diberi solusi praktis dan tuntas. "Selama ini BBM menjadi masalah terus, pemerintah takut inflasi tapi kehilangan Rp 300 triliun per tahun dan tak selesai-selesai," katanya.
Sementara itu, Manajer Pertamina Wilayah Pemasaran Jawa Tengah dan DIY Rifky Hardijanto menyatakan instansinya akan menerapkan dua kombinasi sistem penjualan harga ganda. Masing-masing menetapkan SPBU dengan penjualan Premium bersubsidi dan solar harga baru dengan komposisi 51 persen dan 49 persen serta menetapkan SPBU dengan penjualan Premium harga baru dan solar bersubsidi, yang komposisinya 49 persen 51 persen. "Kebijakan itu berdasarkan pertimbangan kondisi wilayah dan perbandingan permintaan per sektor BBM," ujar Rifky.
Ia menyatakan telah melakukan persiapan dengan cara memberikan sosialisasi kepada pengusaha Hiswana Migas dan operator SPBU. Sosialisasi itu dilengkapi dengan penekanan dan pemahaman siapa saja konsumen yang dapat dilayani berdasarkan kategori. "Kami juga berkoordinasi dengan pemerintah, kepolisian, dan instansi terkait untuk antisipasi hal-hal yang tak diinginkan," Rifky menjelaskan.
Di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 707 SPBU dengan sistem penjualan yang dibagi berdasarkan hasil survei dan pertimbangan kondisi wilayah masing-masing. Rifky menjelaskan akan memberikan sejumlah tanda berupa baliho dan banner di sejumlah SPBU sesuai dengan persediaan layanan bahan bakar yang dilakukan oleh pengelola. "Itu untuk meminimalkan kebingungan masyarakat," katanya.
EDI FAISOL