TEMPO.CO, Jakarta - Neraca perdagangan pada Maret 2013 tercatat mengalami surplus sebesar US$ 304,9 juta. Namun, jumlah itu tak cukup menutup defisit yang terjadi dua bulan sebelumnya. Sehingga, secara kumulatif, neraca perdagangan Januari-Maret 2013 masih minus US$ 67,5 juta.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Maret sebesar US$ 15 miliar atau turun 13,03 persen dibanding tahun lalu. Sementara secara kumulatif Januari-Maret 2013, nilai ekspor Indonesia tercatat senilai US$ 45,39 miliar atau turun 6,44% dibanding tahun lalu.
Sementara itu, nilai impor bulan Maret tercatat sebesar US$ 14,70 miliar atau juga turun 9,97 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Secara kumulatif Januari-Maret, impor turun sebesar US$ 45,46 miliar atau 0,62 persen dibanding tahun lalu. Impor nonmigas secara kumulatif mencapai sebesar US$ 34,15 miliar atau turun 3,06 persen dibanding tahun lalu.
Nilai ekspor nonminyak dan gas bumi (migas) pada kurun Januari-Maret 2013 senilai US$ 37,27 miliar atau turun 3,27 persen dibanding 2012. Share terbesar ekspor adalah bahan bakar mineral, yakni sebesar US$ 6,49 miliar dan lemak dan minyak hewan/nabati US$ 4,66 miliar.
"Penurunan itu akibat harga komoditas yang hampir semuanya turun pada Maret. Volumenya masih tinggi. Jadi, sebenarnya kemampuan produksi kita masih tinggi," kata Kepala BPS Suryamin dalam keterangan persnya, Rabu, 1 Mei 2013.
Berdasarkan pangsa pasar, tujuan ekspor terbesar adalah ke Cina, yakni sebesar US$ 5,10 miliar. Di posisi berikutnya adalah Jepang dengan nilai US$ 4,11 miliar dan Amerika Serikat yang sebesar US$ 3,75 miliar. Tiga negara ini saja memiliki porsi 34,78 persen dari keseluruhan ekspor.
Sementara itu, untuk barang impor yang paling banyak berasal dari Cina, yakni senilai US$ 6,52 miliar, Jepang US$ 4,65 miliar, dan Thailand US$ 2,76 miliar. "Thailand kembali masuk ini kemungkinan karena mobil," ujar Suryamin.
PINGIT ARIA