TEMPO.CO, Cleveland - Bagi Nancy Ruiz, Hari Ibu kali ini merupakan yang terindah selama satu dekade terakhir. “Ini Hari Ibu terbaik yang pernah saya peroleh,” kata Nancy sembari terisak haru. Selasa lalu, ia kembali memeluk putrinya, Gina DeJesus, yang hilang akibat diculik sepuluh tahun lalu. “Saya tak akan pernah melepasnya.”
Gina, kini 23 tahun, merupakan satu dari tiga perempuan yang disekap Ariel Castro, 52 tahun di sebuah rumah di Kota Cleveland, Ohio, Amerika Serikat. Bersama Amanda Berry dan Michelle Knight, Gina hidup dalam teror di penjara bawah tanah selama satu dekade.
Dalam sekapan sang penculik yang berprofesi sebagai supir bus, ketiganya diikat dan dirantai hampir sepanjang waktu. Kekejaman sang penculik tak terperi. Ketiganya dipukuli, dibiarkan kelaparan, dan diperkosa. Akibat pemerkosaan itu, Amanda memiliki seorang putri yang kini berusia enam tahun.
Seorang korban penculikan bahkan melaporkan dirinya mengalami keguguran sebanyak lima kali karena Castro sengaja membiarkannya kelaparan dan menghajar tepat di perutnya.
Bayangan kebebasan nyaris tak pernah ada dalam benak mereka hingga Senin lalu. Amanda, kini 27 tahun, berhasil melarikan diri bersama buah hatinya saat Castro sedang keluar rumah. Ia kemudian menelpon nomor darurat 911 untuk melaporkan penculikan tersebut. “Saya Amanda Berry dan telah diculik selama sepuluh tahun,” ujarnya kepada petugas 911.
Polisi pun langsung menyergap rumah yang beralamat di 2207 Seymour Avenue. Petugas kemudian mendengar suara tangis perempuan di bagian belakang rumah. “Kami menemukan mereka,” teriak polisi.
Amanda dan Gina pun langsung berkumpul dengan keluarga setelah sempat diamankan di sebuah rumah khusus. Adapun Michelle kini masih dirawat di rumah sakit. Walaupun tim medis mengatakan kondisinya stabil, tetapi belum ada pernyataan resmi mengenai kondisi kesehatan Michelle secara keseluruhan.
Kemarin, Castro menghadapi dakwaan resmi berupa empat kasus penculikan serta tiga kasus pemerkosaan.
Seusai bertemu dengan anaknya, ayah Gina meminta seluruh masyarakat memperhatikan anak-anak di lingkungan mereka. “Terlalu banyak anak menghilang dan kita terus menanyakan pertanyaan ini: Mengapa saya tidak memperkirakan kejadian itu? Karena kita memilih untuk tidak melihat,” tuturnya, sedih.
AP | REUTERS | THE GUARDIAN | SITA PLANASARI AQUADINI