TEMPO.CO, Sidoarjo- Panitia Khusus Lumpur Lapindo Sidoarjo menyesalkan tindakan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang melanggar janjinya untuk tidak memperbaiki tanggul sebelum pembayaran sisa ganti rugi lunas.
Ketua Pansus Lumpur Lapindo, Nur Ahmad Syaifudin, menuturkan segera memanggil BPLS, kepolisian, bupati Sidoarjo dan warga korban Lapindo sesuai peta area terdampak. Nur mengaku kecewa karena BPLS dan Kepolisian melanggar perjanjian yang pernah disepakati bersama pada 8 April 2013. "Besok, hari Jumat sudah diagendakan. Pansus akan tanya kenapa kok kesepakatan ini dilanggar?" kata Nur Ahmad kepada Tempo, Kamis 16 Mei 2013.
Dari pertemuan itu, Nur berharap BPLS bisa menjelaskan gamblang kondisi tanggul kepada warga tanpa mengabaikan kesepakatan awal. Jika warga menerima alasan BPLS, Nur Ahmad mempersilahkan BPLS beraktivitas kembali.
Disinggung kondisi tanggul penahan lumpur kritis, Nur enggan menduga-duga kebenaran itu. Tapi, pemanggilan ini tidak menyertakan PT Minarak Lapindo Jaya, juru kasir Lapindo Brantas Inc. Untuk MLJ, kata ia, akan dipanggil terpisah pada akhir bulan Mei ini. "Sikap resmi pansus akan ditentukan besok. Biarkan BPLS menjelaskan dulu," kata Nur Ahmad.
Juru bicara BPLS, Dwinanto, membenarkan kabar rencana pemanggilan oleh Pansus Lumpur Lapindo. Namun, ia enggan membuka terkait materi penjelasan yang akan disampaikan ke Pansus Lumpur.
Dwinanto berdalih, masih menunggu arahan dari pimpinan BPLS untuk menjawab keberatan Pansus Lumpur soal wanprestasi perjanjian yang pernah dibuat sebelumnya. Yang pasti, katanya, kondisi tanggul penahan saat ini dalam kondisi kritis dan harus segera diperbaiki. "Saya belum bisa komentar soal pelanggaran komitmen itu," ucapnya.
Puluhan warga korban Lapindo dari Desa Siring, Jatirejo dan Renokenongo kembali melakukan aksi menolak aktivitas BPLS memperbaiki tanggul dan pengaliran lumpur, Kamis 16 Mei 2013. Massa berusaha menghadang dan menghentikan aktivitas penanggulan yang dilakukan petugas BPLS.
Melihat warga terus merangsek, aparat TNI/Polri sigap menghalau hingga terjadi aksi dorong. Dalam aksinya, warga membawa kranda sebagai simbol matinya penegakan hukum. "Tanah ini masih hak kami. Kami keberatan adanya penanggulan sebelum ganti rugi lunas," teriak seorang warga.
DIANANTA P. SUMEDI