TEMPO.CO, Amman - Di tengah berlangsungnya inisiatif untuk mencari solusi politik dalam perang sipil di Suriah, pertempuran masih terus berlangsung. Kelompok pemberontak meminta bala bantuan setelah pasukan pendukung Presiden Suriah Bassar al-Assad melancarkan serangan terhadap kota strategis yang bisa menjadi titik balik dalam perang sipil itu: Qusair dan Homs. Mereka juga menyebut keterlibatan milisi Hizbullah sebagai bentuk invasi ke negara ini.
"Setiap orang yang memiliki senjata atau amunisi harus mengirimkannya ke Qusair dan Homs untuk memperkuat perlawanan. Setiap peluru yang dikirim ke Qusair dan Homs akan menghalangi invasi yang mencoba untuk menyeret Suriah kembali ke era ketakutan," kata George Sabra, atas nama kepala koalisi oposisi nasional, dalam sebuah pernyataan, seperti dimuat Reuters 23 Mei 2013.
Pasukan Assad bertekad merebut Qusair untuk memperkuat posisinya di wilayah sabuk yang menghubungkan ibukota Damaskus ke kubu Assad di pantai Mediterania, jantung minoritas sekte Alawite. Direbutnya Qusair juga akan memungkinkan Assad untuk memutus hubungan antara wilayah yang dikuasai pemberontak di utara dan selatan Suriah, dan memotong rute pasokan penting bagi pemberontak dari daerah Sunni di Libanon.
Beberapa sumber oposisi percaya bahwa pasukan Assad, yang dipimpin milisi Hizbullah, telah mengambil alih sekitar 60 persen kota itu. Tetapi pemberontak memberikan perlawanan sengit. "Jika kami kehilangan Qusair, kami kehilangan Homs, dan jika kami kehilangan Homs, kami kehilangan jantung negeri ini," kata Ahmed, seorang pemberontak dari ibukota propinsi di dekat Homs.
Perang sipil Suriah, yang bermula dari demonstrasi damai dua tahun lalu, kini telah memakan korban lebih dari 80 ribu nyawa dan memaksa sekitar 1,5 juta warganya mengungsi ke luar negeri.
Reuters | Abdul Manan