TEMPO.CO, Jakarta - Tagline “Keep Moving” yang digeber BlackBerry untuk produk terbarunya, Z10 dan Q10, seolah menggambarkan bagaimana perusahaan asal Kanada ini berjuang untuk terus menjadi yang terdepan. Ajang BlackBerry Live 2013 di Orlando, Florida, yang dihadiri Tempo pada pertengahan Mei lalu, mempertegas kesan itu.
Dibuka dengan sebuah presentasi mengagumkan dari CEO Thorsten Heins, sekitar 5.000 hadirin yang memadati Marriott World Center terkesima. Setelah memamerkan kemajuan perusahaannya, CEO yang baru memimpin BlackBerry pada Januari 2012 lalu itu melempar kejutannya. Mulai musim panas ini--sekitar Juni--BlackBerry menawarkan aplikasi BlackBerry Messenger (BBM) untuk IOS dan Android.
Selama sekian detik hadirin terdiam meresapi apa yang mereka dengar. Paparan Heins tentang keunggulan BlackBerry Z10 dan rencana peluncuran seri Q5 pun seolah tak ada maknanya. “Bagaimana mungkin BlackBerry melepas BBM yang selama ini menjadi keunggulannya?” tulis Tony Bradley, analis TI di Forbes. Tapi itulah yang terjadi. Heins menyebut langkah ini sebagai statement of confidence (pernyataan yang datang dari kepercayaan diri).
Percaya diri? Mungkin. Di bawah Heins, BB mampu meraih untung setelah terpuruk di masa kepemimpinan Mike Lazaridis dan Jim Balsillie.
Langkah Heins memang berani. Selama ini, BBM adalah keunggulan utama BlackBerry. Banyak orang membeli peranti yang aslinya untuk kalangan profesional ini karena faktor BBM. Bahkan, sampai sekarang, banyak pengguna BlackBerry enggan beralih ke peranti lain karena tak mau kehilangan Grup BBM yang kadung tersusun di perangkat genggamnya.
Itu sebabnya langkah Heins melepas keunggulan BlacBerry ini bukan hanya mengejutkan. Banyak yang menganggap Heins sedang berjudi besar-besaran. Taruhan terbesar Heins, kalau sekarang memakai BBM tak harus lagi punya BlackBerry, tidakkah penjualan perangkat genggam BlackBerry malah bakal merosot?
Dengan melepas BBM ke perangkat genggam berbasis IOS dan Android, risiko bagi BlackBerry sangat besar. Apalagi banyak perangkat genggam Android dilepas dengan harga murah. Sebaliknya, justru produk terbaru BlackBerry jelas-jelas tak ditujukan untuk pasar menengah ke bawah. Lihat misalnya seri Z10 dan Q10. Seri andalan terbaru ini dilepas dengan harga sekitar Rp 7 juta. Bahkan, seri termurah pun, yaitu Q5, masih berharga di kisaran Rp 4 juta.
Bandingkan harga itu dengan harga Samsung Galaxy Grand dan Galaxy Mini yang keduanya bakal bisa memakai BBM. Dua peranti buatan Korea ini dilepas dengan harga sekitar Rp 3,5 juta. Mau yang lebih murah? Ada LG Optimus L3 II yang juga berbasis Android Jelly Bean. Harganya “cuma” Rp 1,3 juta! Tak heran, ada yang menilai BlackBerry sedang menggali kuburannya sendiri dengan melepas BBM menjadi multiplatform.
Bunuh diri atau bukan, yang pasti Heins punya perhitungan matang. Strategi melepas BBM menunjukkan BlackBerry justru ingin menjangkau pasar yang lebih luas. Mereka tak ingin hanya menjual perangkat genggam, tapi juga ekosistem BlackBerry. BBM adalah bagian dari ekosistem yang diharapkan mampu tetap menjaga nama besar BlackBerry.
Bagi Heins, melepas BBM justru sangat strategis. Ibarat mundur selangkah namun mendapat keuntungan maju dua langkah. Dengan melepas BBM, brand equity BlackBerry akan meningkat. Orang mungkin tak membeli perangkat genggamnya, namun nama BlackBerry tetap masuk dalam top of mind pengguna BBM.
Heins juga cukup cerdik untuk melepas BBM keluar dari BlackBerry. Pesaing BBM sangat banyak. Misalnya ada Whatsapp, Line, dan Facebook Messenger. Pelan tapi pasti, keunggulan BBM mulai memudar. Apa gunanya mengurung aplikasi yang keunggulannya mulai tergerus pesaing? Dengan melepas BBM ke pasar bebas, BlackBerry justru memperluas pasar produk aplikasinya.
Jelas ini langkah berisiko besar. Tapi di tengah persaingan penjualan ponsel cerdas yang begitu sengit, risiko memang harus diambil. Inilah jurus pamungkas terakhir BlackBerry setelah posisi mereka di tiga besar produsen ponsel cerdas terdepak oleh Windows Phone.
@darupriyambodo (Orlando, Florida)