TEMPO.CO, Jakarta - Coba bayangkan ini: tidak ada orang lain selain Anda serta teman-teman yang berada di pantai berpasir putih dengan ombak tinggi. Kemudian Anda berdiri di atas papan dan menunggangi ombak sepuasnya.
"Itu surga. Selamat datang di agama baru," kata peselancar bebas, Herwandi, saat ditemui Tempo di kawasan pantai Cimaja, Pelabuhan Ratu, Rabu, 29 Mei 2013. Sayangnya tak setiap saat ada ombak besar untuk ditunggangi.
Apa yang dirisaukan pria berusia 28 tersebut benar terjadi. Pagi itu tak ada ombak menarik. Herwandi pun enggan menikmati buaian gelombang di atas papan. Papannya, yang berukuran 7 inci, berjenis semi guns--papan ombak menengah--cuma disandarkan ke motor matic-nya. Ia memilih duduk di pantai sambil menghisap rokok.
Pagi itu, langit Cimaja masih kuning. Di kejauhan, para nelayan tampak sedang memuat hasil tangkapan mereka. Beberapa petani membawa hasil kebunnya dengan sepeda. Cimaja adalah sebuah desa nelayan kecil. Tempat ini terselip di antara pegunungan curam dan pantai terbuka--bibir dari Samudra Hindia. "Karena itu ada profesi petani dan nelayan," kata pemuda asli Cimaja itu.
Wandi, sapaan akrabnya, terobsesi dengan selancar. Tempat tinggalnya dekat pantai. Sedari kecil ia menyaksikan aksi para penakluk ombak di Cimaja, yang dulunya kebanyakan bule. Keasyikan berselancar sejak 11 tahun, anak kedua dari lima bersaudara ini putus sekolah. Ia pun memutuskan terjun total ke aktivitas selancar.
Sejak saat itu, setiap ada waktu luang, ia melewatkannya dengan menjinjing papan menjelajahi tepian pantai untuk mencari tempat yang paling ideal. Mulai dari ombak di Ujung Genteng, Sarwana, Pulau Panaitan Banten, Pacitan Jawa Timur, Bali, Sumbawa dan banyak lagi--pernah ia cicipi. Wandi biasa berburu ombak dengan peselancar asing. Jumlahnya empat sampai lima orang. Biasanya dengan jalan darat.
Tapi lama-lama ia menyadari bakatnya tidak segemilang Dede Suryana, peselancar dunia asal desanya, yang dapat sponsor untuk berburu ombak dan berkompetisi. Kantongnya kering setiap selesai berburu. Maka itu jika sedang menganggur, ia memilih menjadi pemandu selancar di Cimaja. "Selain itu saya juga ngojek dan bikin kaos," kata Wandi, yang memakai kacamata merek Rayban seharga setengah juta.
Dalam sebulan, lelaki pemilik tinggi 165 senti meter ini bisa menjual 30 kaos. Satu kaosnya Rp 100 ribu, dan ia mengambil untung dari separuh harganya itu. Rata-rata ia bisa mengumpulkan uang Rp 5 juta per bulan. Dia kini dikontrak selama lima tahun oleh seorang turis Jepang. Setiap Sabtu dan Minggu, Wandi bertugas menemani turis itu keliling Cimaja dan destinasi selancar lain di sepanjang pantai Selatan. "Orang Jepang itu mekanik kapal kargo," katanya.
Dengan badan kekar berotot, rambut keriting gimbal kemerahan, plus wajah Bob Marley lokal, Wandi tidak susah menggaet turis wanita, baik bule atau lokal. Banyak turis wanita, menurut Wandi, memuji kulitnya yang eksotis. Sebab itu, saban seminggu, pasti ada saja yang "nyangkut" menjadi pelanggannya. Selain menyewakan papan, Wandi sekaligus instruktur selancar bagi mereka.
Ia mengatakan, selesai berselancar, biasanya ia dan turisnya suka saling pijat satu sama lain. Ia merasa bukan salahnya jika para turis asing wanita itu membayarnya lebih untuk berkencan--sebagai "servis" tambahan. "Inilah kebebasan," kata Wandi tertawa. "Saya dibayar Rp 300 ribu, untuk menemani surfing pagi dan sore," ujar Wandi yang fasih bahasa Inggris dan Jepang.
HERU TRIYONO
Topik Terhangat:
Penembakan Tito Kei | Tarif Baru KRL | Kisruh Kartu Jakarta Sehat | PKS Vs KPK | Ahmad Fathanah
Berita Terpopuler:
Tito Kei Tewas, John Kei Sedih tapi Tak Menangis
Pendukung John Kei Sempat 'Serbu' Rutan Salemba
Wakil Menteri Pendidikan Wiendu Diduga Korupsi
9 Skenario Kiamat Versi Ilmuwan
Begini Perubahan Lalu Lintas di Tanah Abang