TEMPO.CO, Jakarta -Di layar televisi, penonton bayaran yang umumnya remaja tanggung itu selalu ceria. Mereka bergoyang, bertepuk tangan, berteriak, sesuai arahan penata gaya. Bagi sebagian orang, gaya dan penampilan mereka dianggap alay, sebuah kata yang lebih bermakna ejekan.
Meski dinilai dengan pandangan yang sedikit negatif, berbeda halnya dengan Ely Sugigi, agen penonton alay. "Mereka, kan, cari duit, kalau enggak alay nanti gimana," kata Ely saat berbincang dengan Tempo, Kamis, 30 Mei 2013, di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta.
Bagi perempuan 41 tahun itu, apa yang bisa dilakukan penonton bayaran itu adalah bergaya alay. Dan itu sah-sah saja. Ely bahkan menilai orang-orang yang menyindir mereka sebagai anak alay adalah keliru. "Alay itu cuma buat cari duit, selebihnya enggak. Itu profesi mereka," kata ibu dua anak ini. Sebagai profesi, para penonton bayaran ini cuma melakukan apa yang diminta, seperti tertawa, rame, senyum, goyang.
Penghasilan sebagai penonton bayaran ini memang lumayan untuk ukuran mereka. Sekali mengisi acara, pihak televisi membayar mereka Rp 35-50 ribu. Jumlah ini belum dipotong koordinator yang mengambil Rp 5-10 ribu per kepala. Dalam sehari, mereka bisa mengisi 2-3 acara.
Awalnya, Ely mencari penonton bayaran ini melalui orang-orang di sekitarnya. Tapi setelah namanya banyak dikenal, para remaja tanggung ini yang justru menghubunginya minta diajak menjadi penonton bayaran. "Bahkan ada yang dari Jawa, karena mereka melihat ini sebagai peluang usaha," kata Ely.
AMIRULLAH | HADRIANI P